Senin, 08 Maret 2010

PERAYAAN TRADISI SEDEKAH KAMPUNG PERADONG


PERAYAAN TRADISI SEDEKAH KAMPUNG PERADONG

SIMPANG TERITIP – Masyarakat Peradong Kecamatan Simpang Teritip Bangka Barat, Minggu (7/3) kemarin merayakan tradisi tahunan (tradisi Sedekah Kampung). Acara berlansung selama dua hari, dimulai Sabtu (6/3) sore pukul 13.00 WIB dengan upacara permohonan izin, dilanjutkan dengan pelaksanaan tamat ngaji dan nganggung bersama di masjid setempat. Tamu undangan dalam perayaan tersebut dihadiri oleh Bupati Bangka Barat Parhan Ali beserta rombongan dari Dinas Perhubungan, Kebudayaan dan Pariwisata Bangka Barat.

Sebagaimana biasanya, setiap tahun masyarakat Peradong selalu merayakan tradisi tahunan ini dengan berbagai acara. Selain itu, masyarakat juga biasanya membuat makanan, seperti dodol (makanan khas masyarakat), kue-kue, dan lain sebagainya guna memeriahkan acara tersebut.

Tradisi ini dilakukan untuk mengungkapkan rasa syukur atas pemberian rizki dari Allah SWT. Menurut Abang Sali (ketua panitia), selain untuk mengungkapkan rasa syukur atas pemberian rizki, acara ini yang bertepatan dengan bulan Maulid adalah untuk merayakan hari kelahiran nabi Muhammad SAW, sebagai bukti kecintaan terhadap beliau. Lebih lanjut Abang Sali mengatakan, bahwa perayaan tahun ini lebih meriah dibandingkan tahun sebelumnya, pasalnya tahun ini dihadiri oleh Bupati Bangka Barat.

Di sisi lain, Runi Pardi (kepala desa Peradong) menyebutkan untuk memeriahkan acara tersebut pemerintah desa beserta masyarakat mendatangkan grup band dangdut lokal, sehingga dengan demikian masyarakat dan pengunjung selain merayakan tradisi tahunan tersebut, juga dapat terhibur dengan hiburan yang ada. Hiburan lain, selain band juga dimeriahkan dengan penampilan dambus, yang dimainkan oleh masayarakt setempat yang diikuti dengan tarian khas dambus oleh gadis-gadis kampung tersebut.

Semoga tradisi ini tetap dijaga dan dilestarikan, karena tradisi ini merupakan warisan tradisi lokal yang ada di Kepulauan Bangka Belitung. Semoga dengan ini, ada perhatian dan dukungan dari pemerintah daerah, dalam rangka untuk menyemarakkan Visit Babel Archipelago 2010 ‘tandas Runi’.

Sekilas Tradisi Sedekah Kampung Peradong

Sedekah Kampung adalah sebuah tradisi warisan nenek moyang yang ada di kepulauan Bangka Belitung, dan telah dilakukan selama puluhan tahun, bahkan kemungkinan telah lebih dari seratus tahun. Warisan tradisi tersebut dilakukan masyarakat Peradong dalam setiap tahun bertepatan dengan bulan Maulid (Rabiul Awwal) kelender Hijriyah. Tradisi tersebut dilakukan bertujuan untuk memperingati kelahiran Nabi Muhammad, sebagai wujud kecintaan masyarakat peradong terhadap beliau.

Persiapan Sebelum Upacara

Perayaan Sedekah Kampung telah dilaksanakan secara turun temurun dan tidak diketahui asal usul serta awal mulai dilaksanakannya. Perayaan ini biasa dilaksanakan penduduk Desa Peradong setiap tahun bertepatan dengan bulan Maulud (Rabiul Awwal) kalender Hijriyah dan acaranya berlangsung selama 2 hari yang biasanya pada hari Sabtu dan Minggu. Biasanya acara ini dilaksanakan antara tanggal 15 sampai 30 Rabiul Awwal. Sebelum pelaksanaan acara tersebut, jauh sebelumnya pada malam hari sang tetua adat (dukun) sekarang Kek Jemat mengadakan ceriak pemanggilan orang-orang kampung sebagai pemberitahuan akan dilaksankannya upacara adat dan menentukan tanggal yang cocok untuk pelaksanaan upacara tersebut.

Pada tanggal yang telah ditetapkan tetua adat sebagai pawang desa dengan dibantu penduduk setempat memulai membuat batu persucian (taber) dengan menggunakan bahan-bahan tradisional serta dedaunan dan gaharu (dupa) dari kayu buluh (bambu). Menurut sang dukun, dahulu kala penggunaan dupa ini adalah sebagai alat untuk menarik minat orang-orang cina yang berdiam di desa tersebut agar memeluk agama Islam (Dinas Perhubungan, Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Bangka Barat, t.t: 6).

Dalam pelaksanaannya, telah mengalami perubahan walaupun hanya dalam hal yang seremonial, contohnya saja dalam hal perayaan yang dahulunya hanya dengan menampilkan musik tradisional, seperti dambus dan campak sebagai hiburan. Sedangkan sekarang sudah dengan musik yang modern. Dari segi ritus, tidak banyak mengalami perubahan, hanya saja dahulunya lebih banyak mengandung mistik, sedangkan sekarang telah diselaraskan dengan ajaran Islam.

Jalannya Upacara

Setelah persiapan, seperti; batu persucian dan gaharu selesai, kemudian pada hari yang telah ditentukan tersebut, tetua adat dan masyarakat menyiapkan makanan dan minuman, serta buah-buahan, uang dan binatang peliharaan seperti; ayam dan bebek untuk diperebutkan setelah ritual upacara permohonan izin dilakukan. Semua peralatan telah dipersiapkan, kira-kira pukul 13.00 WIB siang dimulai dari balai adat, tetua adat bersama penduduk arak-arakan menuju Istana dengan diiringi semarang (selawatan barzanji) guna untuk meminta izin dan memulai pelaksanaan sedekah kampung. Setelah sampai di sana, sang dukun kemudian duduk di atas makam bersamaan dengan dihidangkan berbagai macam jenis makanan khas desa, uang serta hewan peliharaan seperti ayam dan bebek, kemudian mulai pembacaan do’a dan mantera. Setelah pembacaan do’a dan mantera selesai, penduduk naik ke atas makam dan memperebutkan ayam, bebek dan buah-buahan serta uang yang ada di atas makam tersebut. Upacara kemudian dilanjutkan dengan penampilan silat yang dilakukan oleh dua orang, kemudian sang dukun dan penduduk pembantunya melakukan pemberian tangkel (jimat) di empat penjuru, dimulai dari istana tersebut menuju gerbang pintu masuk ke desa sampai akhir perbatasan desa tersebut. Pemberian jimat ini dimaksudkan untuk menangkal segala bentuk gangguan dari luar yang tidak menginginkan acara ini berlangsung.

Setelah upacara permohonan izin kepada leluhur, serta setelah naber dan nangkel kampung selesai, kemudian dukun (tetua adat) kembali kekediamannya. Sedangkan arak-arakan masyarakat dilanjutkan dengan penjemputan peserta khataman Al-Qur’an menuju masjid untuk melaksanakan tamat ngaji (betamat). Setiap arak-arakan yang dilakukan, baik arak-arakan tamat ngaji dan sunatan selalu diiringi dengan semarang. Upacara ini dilakukan sebagai pertanda bahwa seorang anak yang telah melaksanakan tamat ngaji dianggap pandai membaca Al-Qur’an. Setelah tamat ngaji selesai, acara dilanjutkan dengan nganggung bersama di masjid tersebut. Pada malam harinya (malam minggu) diadakan hiburan kampung, yaitu penampilan musik Dambus dan Campak serta nyanyian lagu-lagu daerah yang diiringi dengan tarian oleh ibu-ibu dan gadis-gadis penduduk.

Hari berikutnya, dilaksanakan upacara Sunat Kapong. Dimulai pukul 03.00 WIB, peserta (anak-anak) yang akan disunat berendam di dalam air (dalam dialek masyarakat setempat ’di Aek Kapong’) kurang lebih selama 3 jam, kemudian kira-kira pukul 06.00-07.00 WIB pelaksanaan sunatan yang dilakukan oleh mudim (tukang sunat kampung). Setelah selesai, peserta sunatan diarak keliling kampung dengan menggunakan kereta hiasan dengan berbagai macam variasi.

Dalam pelaksanaa upacara ini, terdapat beberapa pantangan yang harus dipatuhi oleh semua orang yang mengikuti jalannya upacara ritual ini, yaitu duduk di atas pagar, meletakkan jemuran/pakaian berupa apapun di atas pagar dan bermain senter. Menurut penduduk, apabila pantangan tersebut dilanggar, maka akan didatangi oleh makhluk-makhluk halus dan mengubahnya menjadi tepuler (kepala dengan wajah terbalik ke belakang). Untuk tetua adat selama acara berlangsung, tidak boleh makan dan minum (berpuasa).

Oleh: Suryan Masrin

Catatan Budaya : TRADISI SEDEKAH KAMPUNG DI PERADONG KECAMATAN SIMPANG TERITIP BANGKA BARAT

Oleh: Suryan Masrin


Pendahuluan

Setiap bangsa dan suku bangsa memiliki agama sebagai kepercayaan yang mempengaruhi manusia sebagai individu, juga sebagai pegangan hidup. Di samping agama, kehidupan manusia juga dipengaruhi oleh kebudayaan. Kebudayaan menjadi identitas dari bangsa dan suku bangsa. Suku tersebut memelihara dan melestarikan budaya yang ada (Agus, 2002:15). Kebudayaan sebagai hasil dari cipta, karsa dan rasa manusia menurut Alisyahbana; merupakan suatu keseluruhan yang kompleks yang terjadi dari unsur-unsur yang berbeda-beda seperti pengetahuan, kepercayaan, seni, hukum, moral, adat istiadat, dan segala kecakapan yang diperoleh manusia sebagai anggota masyarakat (Hakim dan Mubarok, 2006:28. Dalam masyarakat, baik yang kompleks maupun yang sederhana, ada sejumlah nilai budaya yang satu dengan lain saling berkaitan hingga menjadi suatu sistem, dan sistem itu sebagai pedoman dari konsep-konsep ideal dalam kebudayaan memberi pendorong yang kuat terhadap arah kehidupan warga masyarakatnya (Koentjaraningrat, 1990:190).

Tradisi sebagai salah satu bagian dari kebudayaan menurut pakar hukum F. Geny adalah fenomena yang selalu merealisasikan kebutuhan masyarakat. Sebab yang pasti dalam hubungan antar individu, ketetapan kebutuhan hak mereka, dan kebutuhan persamaan yang merupakan asas setiap keadilan menetapkan bahwa kaidah yang dikuatkan adat yang baku itu memiliki balasan materi, yang diharuskan hukum. Kaidah ini sesuai dengan naluri manusia yang tersembunyi, yang tercermin dalam penghormatan tradisi yang baku dan perasaan individu dengan rasa takut ketika melanggar apa yang telah dilakukan pendahulu mereka (Aliyah, 2004:512.

Menurut Prof. Mr. Hardjono dalam Beratha (1982:22) memberikan ulasan singkat bahwa tradisi adalah suatu pengetahuan atau ajaran-ajaran yang diturunkan dari masa ke masa. Ajaran dan pengetahuan tersebut memuat tentang prinsip universal yang digambarkan menjadi kenyataan dan kebenaran yang relatif. Dengan demikian segala kenyataan dan kebenaran dalam alam yang lebih rendah itu adalah peruntukan (application) daripada prinsip-prinsip universal. Sedangkan menurut Dahri (2009:45), tradisi didefinisikan sebagai berikut:

Tradisi adalah suatu kebiasaan yang teraplikasikan secara terus-menerus dengan berbagai simbol dan aturan yang berlaku pada sebuah komunitas. Awal-mula dari sebuah tradisi adalah ritual-ritual individu kemudian disepakati oleh beberapa kalangan dan akhirnya diaplikasikan secara bersama-sama dan bahkan tak jarang tradisi-tradisi itu berakhir menjadi sebuah ajaran yang jika ditinggalkan akan mendatangakan bahaya.

Tradisi-tradisi tersebut dapat disaksikan pada; ’Upacara Tawar Laut/Ketupat Laut’, ’Tahun Baru Cina’, ’Sembahyang Kubur Cina’, ’Sembahyang Pantai’, ’Kawin Massal’, ’Perang Ketupat’, ’Mandi Belimau’, ’Sedekah Kampung’, ’Rebo Kasan’, ’Nganggung’ dan lainnya yang dilakukan di Kepulauan Bangka Belitung. Tradisi ini dilakukan sebagai pengungkapan atas rasa syukur terhadap anugerah yang telah diberikan oleh Sang Pencipta, yang kental dengan nuansa keagamaan. Pewarisan tradisi tersebut dapat terjadi melalui pertunjukkan upacara adat pada suatu masyarakat.

Sejalan dengan pengertian di atas, upacara di sini merupakan sumber pengetahuan tentang bagaimana seseorang bertindak dan bersikap terhadap suatu gejala yang diperolehnya melalui proses belajar dari generasi sebelumnya dan kemudian harus diturunkan kepada generasi berikutnya (Abdullah, 2002:4). Ritual keagamaan yang dibungkus dengan bentuk tradisi ini dilakukan secara turun temurun dan berkelanjutan dalam periodik waktu tertentu, bahkan hingga terjadi akulturasi dengan budaya lokal (Abdullah, dkk, (ed.), 2008:187). Seperti apa yang diperlihatkan masyarakat Bangka Belitung dalam pengungkapan rasa syukur atas anugerah yang diberikan oleh Sang Pencipta tersebut.



Persiapan Sebelum Upacara

Perayaan Sedekah Kampung telah dilaksanakan secara turun temurun dan tidak diketahui asal usul serta awal mulai dilaksanakannya. Perayaan ini biasa dilaksanakan penduduk Desa Peradong setiap tahun bertepatan dengan bulan Maulud (Rabiul Awwal) kalender Hijriyah dan acaranya berlangsung selama 2 hari yang biasanya pada hari Sabtu dan Minggu. Biasanya acara ini dilaksanakan antara tanggal 15 sampai 30 Rabiul Awwal. Sebelum pelaksanaan acara tersebut, jauh sebelumnya pada malam hari sang tetua adat (dukun) sekarang Kek Jemat mengadakan ceriak pemanggilan orang-orang kampung sebagai pemberitahuan akan dilaksankannya upacara adat dan menentukan tanggal yang cocok untuk pelaksanaan upacara tersebut.

Pada tanggal yang telah ditetapkan tetua adat sebagai pawang desa dengan dibantu penduduk setempat memulai membuat batu persucian (taber) dengan menggunakan bahan-bahan tradisional serta dedaunan dan gaharu (dupa) dari kayu buluh (bambu). Menurut sang dukun, dahulu kala penggunaan dupa ini adalah sebagai alat untuk menarik minat orang-orang cina yang berdiam di desa tersebut agar memeluk agama Islam (Dinas Perhubungan, Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Bangka Barat, t.t: 6).

Dalam pelaksanaannya, telah mengalami perubahan walaupun hanya dalam hal yang seremonial, contohnya saja dalam hal perayaan yang dahulunya hanya dengan menampilkan musik tradisional, seperti dambus dan campak sebagai hiburan. Sedangkan sekarang sudah dengan musik yang modern. Dari segi ritus, tidak banyak mengalami perubahan, hanya saja dahulunya lebih banyak mengandung mistik, sedangkan sekarang telah diselaraskan dengan ajaran Islam.

Jalannya Upacara

Setelah persiapan, seperti; batu persucian dan gaharu selesai, kemudian pada hari yang telah ditentukan tersebut, tetua adat dan masyarakat menyiapkan makanan dan minuman, serta buah-buahan, uang dan binatang peliharaan seperti; ayam dan bebek untuk diperebutkan setelah ritual upacara permohonan izin dilakukan. Semua peralatan telah dipersiapkan, kira-kira pukul 13.00 WIB siang dimulai dari balai adat, tetua adat bersama penduduk arak-arakan menuju Istana dengan diiringi semarang (selawatan barzanji) guna untuk meminta izin dan memulai pelaksanaan sedekah kampung. Setelah sampai di sana, sang dukun kemudian duduk di atas makam bersamaan dengan dihidangkan berbagai macam jenis makanan khas desa, uang serta hewan peliharaan seperti ayam dan bebek, kemudian mulai pembacaan do’a dan mantera. Setelah pembacaan do’a dan mantera selesai, penduduk naik ke atas makam dan memperebutkan ayam, bebek dan buah-buahan serta uang yang ada di atas makam tersebut. Upacara kemudian dilanjutkan dengan penampilan silat yang dilakukan oleh dua orang, kemudian sang dukun dan penduduk pembantunya melakukan pemberian tangkel (jimat) di empat penjuru, dimulai dari istana tersebut menuju gerbang pintu masuk ke desa sampai akhir perbatasan desa tersebut. Pemberian jimat ini dimaksudkan untuk menangkal segala bentuk gangguan dari luar yang tidak menginginkan acara ini berlangsung.

Setelah upacara permohonan izin kepada leluhur, serta setelah naber dan nangkel kampung selesai, kemudian dukun (tetua adat) kembali kekediamannya. Sedangkan arak-arakan masyarakat dilanjutkan dengan penjemputan peserta khataman Al-Qur’an menuju masjid untuk melaksanakan tamat ngaji (betamat). Setiap arak-arakan yang dilakukan, baik arak-arakan tamat ngaji dan sunatan selalu diiringi dengan semarang. Upacara ini dilakukan sebagai pertanda bahwa seorang anak yang telah melaksanakan tamat ngaji dianggap pandai membaca Al-Qur’an. Setelah tamat ngaji selesai, acara dilanjutkan dengan nganggung bersama di masjid tersebut. Pada malam harinya (malam minggu) diadakan hiburan kampung, yaitu penampilan musik Dambus dan Campak serta nyanyian lagu-lagu daerah yang diiringi dengan tarian oleh ibu-ibu dan gadis-gadis penduduk.

Hari berikutnya, dilaksanakan upacara Sunat Kapong. Dimulai pukul 03.00 WIB, peserta (anak-anak) yang akan disunat berendam di dalam air (dalam dialek masyarakat setempat ’di Aek Kapong’) kurang lebih selama 3 jam, kemudian kira-kira pukul 06.00-07.00 WIB pelaksanaan sunatan yang dilakukan oleh mudim (tukang sunat kampung). Setelah selesai, peserta sunatan diarak keliling kampung dengan menggunakan kereta hiasan dengan berbagai macam variasi.

Dalam pelaksanaa upacara ini, terdapat beberapa pantangan yang harus dipatuhi oleh semua orang yang mengikuti jalannya upacara ritual ini, yaitu duduk di atas pagar, meletakkan jemuran/pakaian berupa apapun di atas pagar dan bermain senter. Menurut penduduk, apabila pantangan tersebut dilanggar, maka akan didatangi oleh makhluk-makhluk halus dan mengubahnya menjadi tepuler (kepala dengan wajah terbalik ke belakang). Untuk tetua adat selama acara berlangsung, tidak boleh makan dan minum (berpuasa).




















UPACARA PEMOHONAN IZIN – Tetua Adat (dukun kampung) bersama masyarakat melakukan upacara permohonan izin melasanakan Sedekah Kampung di Istana. Upacara ini dilakukan untuk memulai perayaan tersebut yang bertujuan untuk menghindarkan gangguan dari luar yang tidak menginginkan acara berlansung.


Ritual Tradisi Sedekah Kampung

a. Tamat Ngaji (Betamat)

Tamat ngaji (betamat/khataman Qur’an) merupakan upacara yang dilakukan sebagai petanda bahwa seorang yang telah melaksanakan tamat ngaji dianggap telah pandai membaca Al-Qur’an. Upacara ini dilakukan dalam rangka mensyukuri anak-anak khususnya dan remaja yang telah menamatkan bacaan Al-Qur’an. Dalam tamat ngaji, peserta yang ikut dalam upacara tersebut membaca surat-surat pendek dari Al-Qur’an secara bergantian. Biasanya pembacaan surat-urat pendek tersebut dimulai dari surat Ad-Dhuha sampai An-Naas. Anak-anak dan remaja yang tidak (belum) pernah menamatkan pembacaan Al-Qur’an tentu tidak dapat ikut betamat. Namun bagi mereka yang telah menamatkan Al-Qur’an boleh mengikuti untuk kedua kalinya. Bagi masyarakat Peradong, tamatnya anak-anak mereka membaca 30 juz Al-Qur’an merupakan sesuatu yang sangat istimewa, sehingga perlu disyukuri secara khusus. Ritual ini memiliki makna dan fungsi yang sangat penting dalam pendidikan keagamaan di masyarakat, karena orang yang tidak mampu membaca Al-Qur’an atau tidak fasih dalam membacanya akan menanggung malu dan mendapat gunjingan dari masyarakat (Zulkifli, 2007:54). Untuk upacara ini, tampuk kegiatan dipegang oleh Penghulu mulai acara berlangsung sampai selesai.


























TAMAT NGAJI - Pembacaan surat-surat pendek Juz 30 Al-Qur’an oleh peserta tamat ngaji di Masjid Baitul Mukmin Desa Peradong. Pembacaan tersebut dimulai dari surat Ad-Dhuha hingga An-Naas yang dilakukan secara bergantian.

Jalannya upacara ini dimulai pukul 15.00 WIB dengan mengadakan arak-arakan penjemputan peserta ke rumah masing-masing. Arak-arakan masyarakat tersebut dimulai dari balai desa diiringi dengan semarang menuju perbatasan kampung, kemudian setelah sebagian peserta bergabung dalam arak-arakan tersebut, rute kembali menuju ke perkampungan. Kalau dalam upacara Sayyang Pattudu di Kabupaten Polewali Mandar Sulawesi Barat, peserta tamat ngaji duduk di atas kuda dengan satu kaki ditekuk ke belakang, lutut menghadap ke depan, sementara satu kaki yang lainnya terlipat dengan lutut dihadapkan ke atas dan telapak kaki berpijak pada punggung kuda. Dengan posisi seperti itu, para peserta didampingi agar keseimbangannya terpelihara ketika kuda yang ditunggangi menari. Dalam upacara Sedekah Kampung, peserta tamat ngaji duduk di atas sepeda yang telah dihiasi dengan berbagai bentuk dan variasi yang didorong oleh orang tuanya dan orang dewasa lainnya dengan diikuti anak-anak dan remaja lainnya yang sebaya. Setelah semua peserta bergabung dalam arak-arakan tersebut, rute terus dilakukan menuju ke masjid. Setelah sampai di masjid, acara dimulai dengan sambutan dari penghulu, kepala desa, dan guru ngaji, sebagaimana tersusun dalam susunan acara. Kemudian mulailah tamat ngaji dilakukan, diawali oleh guru ngaji memberikan aba-aba kepada peserta. Mulailah peserta membaca surat-surat pendek dalam Al-Qur’an, yaitu dalam juz 30 diawali dari surat Ad-Duha terus menerus secara bergantian hingga sampai pada surat An-Naas. Setelah selesai, dilanjutkan dengan pembacaan do’a khatam Al-Qur’an yang biasanya dibacakan oleh penghulu. Akhirnya selesailah upacara tamat ngaji, peserta dan orang tuanya keluar dari masjid menuju ke rumah masing-masing. Bagi orang tua yang mampu, biasanya pada malam harinya atau ada juga sebagian yang langsung setelah tamat ngaji mengadakan selamatan di rumahnya.

b. Nganggung

Nganggung adalah suatu tradisi turun temurun yang hanya bisa dijumpai di Bangka. Karena tradisi nganggung merupakan identitas Bangka, sesuai dengan slogan Sepintu Sedulang, yang mencerminkan sifat kegotong royongan, berat sama dipikul ringan sama dijinjing (Zulkifli, 2007:53).

Nganggung atau Sepintu Sedulang merupakan warisan nenek moyang yang mencerminkan suatu kehidupan sosial masyarakat berdasarkan gotong-royong. Setiap bubung rumah melakukan kegiatan tersebut untuk dibawa ke masjid, surau atau tempat berkumpulnya warga kampung. Adapun nganggung merupakan suatu kegiatan yang dilakukan masyarakat dalam rangka memperingati hari besar agama Islam, menyambut tamu kehormatan, acara selamatan orang meninggal, acara pernikahan atau acara apapun yang melibatkan orang banyak. Nganggung adalah membawa makanan di dalam dulang atau talam yang ditutup tudung saji ke masjid, surau, atau balai desa untuk dimakan bersama setelah pelaksanaan ritual agama (Zulkifli, 2007:53).

Dalam acara ini, setiap kepala keluarga membawa dulang yaitu sejenis nampan bulat sebesar tampah yang terbuat dari aluminium dan ada juga yang terbuat dari kuningan. Untuk yang terakhir ini sekarang sudah agak langka, tapi sebagian masyarakat Bangka masih mempunyai dulang kuningan ini. Di dalam dulang ini tertata aneka jenis makanan sesuai dengan kesepakatan apa yang harus dibawa. Kalau nganggung kue, yang dibawa kue, nganggung nasi, isi dulang nasi dan lauk pauk, nganggung ketupat biasanya pada saat lebaran. Dulang ini ditutup dengan tudung saji yang terbuat dari daun, sejenis pandan, dan di cat, tudung saji ini banyak terdapat dipasaran. Dulang ini dibawa ke masjid, atau tempat acara yang sudah ditetapkan, untuk dihidangkan dan dinikmati bersama. Hidangan ini dikeluarkan dengan rasa ikhlas, bahkan disertai dengan rasa bangga.

Namun dalam perkembangannya sekarang, kegiatan nganggung yang masih eksis dipertahankan pada saat memperingati hari besar agama Islam, dan menyambut tamu kehormatan.

c. Sunat Kapong

Sunat atau khitan secara harfiah berarti sama dengan sunnah dalam bahasa Arab (Saputra, 2008:17). Sunat atau khitan makna aslinya dalam bahasa Arab adalah bagian yang dipotong dari kemaluan laki-laki atau perempuan. Sedangkan sunat kapong adalah pemotongan ujung penis anak laki-laki dalam ukuran tertentu yang masih menggunakan alat-alat secara tradisional. Alat-alat tersebut seperti daun sirih berfungsi untuk pencegah infeksi, pisau (dahulunya menggunakan bambu yang telah ditajamkan) sebagai alat pemotong ujung penis, gunting, kapas, dan tali dari kain yang digunakan untuk mengikat sekaligus penahan bagi penis agar tidak bergerak. Sunat dimaksudkan di sini hanya bagi laki-laki saja. Sunat merupakan upacara pemotongan ujung penis anak laki-laki dalam ukuran tertentu dalam ajaran Islam bagi anak yang akan memasuki akil balig. Dalam tradisi Betawi, sunat diartikan sebagai proses atau etape pembeda. Bagi seorang anak laki-laki yang telah disunat berarti telah memasuki dunia akil balig, maka dia dituntut atau seharusnya telah mampu membedakan antara yang hak dan yang bathil. Ia sudah selayaknya mampu menjaga diri dari perbuatan-perbuatan yang melanggar ajaran agama dan adat kesopanan di masyarakat (Saputra, 2008:17). Dengan kata lain, seorang anak laki-laki yang telah disunat dianggap sudah menjadi manusia yang sempurna dalam arti untuk menjalankan kewajiban sebagaimana halnya manusia dewasa sebagai pengabdi.

Pelaksanaan upacara sunat kapong dimulai pukul 03.00 WIB peserta (anak-anak) yang akan disunat berendam di dalam air (di Aek Kapong) kurang lebih selama 3 jam, hal ini bertujuan untuk menahan rasa sakit pada saat pemotongan ujung penis. Setelah berendam di Aek Kapong selama kurang lebih 3 jam, kira-kira pukul 06.00-07.00 pelaksanaan sunatan dilakukan oleh mudim (tukang sunat kampung), orang Betawi menyebutnya dengan bengkong, yang dilakukan secara bergantian kepada peserta. Sebelum memulai sunatan, diawali dengan bacaan basmalah dan syahadatain oleh anak yang akan disunat. Ini bertujuan untuk membawa suasana yang lebih sakral dan lebih berkesan bagi anak yang disunat. Untuk peralatan yang digunakan masih menggunakan alat-alat tradisional, sebagaimana telah dijelaskan diawal. Setelah selesai, peserta sunat diarak keliling kampung dengan menggunakan kereta hiasan dengan berbagai macam variasi.

Prosesi sunat kapong, sebagaimana dikutip dari www.kompas.com tentang proses pelaksanaan sunatan massal di desa Kundi Kecamatan Simpang Teritip yang hampir sama dengan proses pelaksanaan di Desa Peradong:

Menjelang pelaksanaan khitanan adat, dini hari sekitar pukul 03.30, warga dibangunkan dengan pukulan kenong oleh Jenang dari Balai Pertemuan sederhana yang disebut warga Kundi sebagai balai desa. Pukulan kenong itu terdengar jauh juga, sehingga bisa membangunkan orang yang tengah terlelap tidur. Meski demikian, kehidupan pasar malam di Kundi yang berlangsung sampai hampir tengah malam, agaknya banyak membuat warga Kundi kelelahan sehingga hanya sedikit yang bisa datang ke balai desa.

Di balai desa inilah empat anak yang akan dikhitan kemudian duduk bersama dua orang Jenang, dibacakan doa, sementara sejumlah warga lainnya, tua maupun muda, melakukan tarian Tabo dengan diiringi kenong dan tiga gendang. Beberapa seri tarian Tabo dimainkan, sampai kemudian para anak yang akan dikhitan dibawa berjalan beriringan menuju sungai yang lebih mirip kolam. Di tempat yang jauhnya sekitar satu kilometer dari Bal.

Di desa inilah, keempat anak itu kemudian diminta berendam di sebuah kolam yang terlebih dulu didoa-doai oleh dua orang Jenang. Anak-anak itu ditemani para orang tua, sebagian warga, dengan iringan musik kenong dan gendang. Dari pukul 04.00 sampai 06.20 keempat anak itu berjongkok merendam setengah badan bagian bawahnya dalam air, membius kemaluan mereka agar tidak terasa sakit ketika dikhitan nanti.

Setelah upacara sunat kapong selesai, kemudian anak-anak tersebut diarak keliling kampung didampingi teman-temannya yang sebaya. Arak-arak dilakukan dengan menggunakan tandu dan sepeda yang telah dihiasi dengan berbagai macam hiasan dan diiringi dengan semarang, mulai dari ujung kampung (tempat sunat dilaksanakan, di dekat aek kapong) menuju lorong (gang) hingga ke jalan umum, kemudian diselingi dengan penampilan pencak silat dan akhirnya kembali ketempat masing-masing.

Sebagai contoh, dalam adat Betawi peserta (pengantin sunat) diarak duduk di atas kuda yang dirias dengan sedemikian rupa, antara lain dengan bunga-bunga dan bermacam buah-buahan. Di dekat ekor kuda digantungkan seikat padi dan sebuah kelapa. Biasanya, si pengantin sunat akan didampingi teman-temannya mengiringinya dengan naik delman. Berjalan di barisan paling depan adalah grup ondel-ondel yang menari berkeliling kampung. Rebana ketimpring terus mengiringi sepanjang perjalanan (Saputra, 2008:21). Tidak demikian halnya di Desa Peradong, peserta sunat diarak sebagaimana arak-arakan tamat ngaji, sebagaimana telah diuraikan di atas, yaitu dengan duduk di atas sepeda yang telah dihiasi dengan berbagai bentuk dan variasi yang didorong oleh orang tuanya dan orang dewasa lainnya dengan diikuti anak-anak dan remaja lainnya yang sebaya. Rombongan depan adalah sebagai pembaca semarang yang dikomandoi oleh tetua adat. Setelah selesai, bagi keluarga (orang tua anak) yang mampu, biasanya mengadakan hajatan (selamatan) di rumah masing-masing.























ARAK-ARAKAN – Arak-rakan yang dilakukan masyarakat Peradong untuk peserta tamat ngaji dan sunat kapong. Dalam arak-arakan ini selalu diiringi dengan semarang (pembacaan selawatan barzanji).

d. Semarang

Semarang yang lebih dikenal dengan istilah Selawatan Barzanji merupakan bacaan shalawat yang diambil dari kitab Al-Barzanji yang dibacakan ketika mengiringi setiap arak-arakan yang dilakukan, baik untuk arak-arakan tamat ngaji maupun untuk sunat kapong. Pembacaan tersebut dilakukan oleh rombongan arak-arakan di barisan paling depan, yang dikomandoi oleh tetua adat. Untuk irama pembacaan tersebut, hanya beberapa orang saja yang masih bisa untuk melafalkannya.

Selawatan tersebut dilakukan tanpa ada paksaan, bagi remaja yang telah bisa membaca selawatan tersebut juga diperbolehkan untuk membaca Semarang. Selain untuk mengiringi arak-arakan, juga untuk memeriahkan dan meramaikan sekaligus untuk menghibur peserta yang diarak. Khusus untuk arak-arakan tamat ngaji, bertujuan untuk memotivasi bagi anak-anak dan remaja lainnya agar menamatkan 30 juz Al-Qur’an, sehingga bisa menjadi peserta tamat ngaji di tahun yang akan datang. Begitu juga dengan arak-arakan sunat kapong, juga untuk memberikan semangat dan keberanian kepada mereka yang belum disunat.

e. Penampilan Pencak Silat

Upacara ini dilakukan untuk menghibur para penonton yang menyaksikan jalannya kegiatan upacara Sedekah Kampung dan juga untuk menghibur anak yang baru saja di sunat. Selain masyarakat Peradong, banyak para pengunjung yang datang untuk menyaksikan jalannya acara tersebut. Pencak silat tersebut diperankan oleh masyarakat dengan pakaian bebas, bahkan hansip–pun boleh memperagakannya sebagai aktor.

Pencak silat ini tidak seperti silat pada umumnya, karena dalam pencak silat ini hanya menirukan sebagian gerakan-gerakan jurus silat saja. Dalam penampilannya, terlihat sedikit lucu karena gerakan-gerakannya bukan gerakan-gerakan dalam jurus silat. Gerakan tersebut dilakukan sesuai dengan gaya masing-masing pemeran dengan sedikit meniru gerakan dalam jurus silat kampung. Yang menarik perhatian dari penampilan pencak silat tersebut, adalah ketika pemeran (sebagai aktor) berupaya memperebutkan dan mempertahankan uang yang telah didapat (dalam kekuasaan), yang diletakkan oleh masyarakat dan pengunjung yang dikeluarkan dengan suka rela.

Dengan gayanya yang sedikit konyol, mereka–pemeran berupaya mempertahankan uang yang telah mereka dapatkan agar tidak diambil oleh pemeran lainnya. Penampilan ini biasanya dilakukan oleh dua orang.



















PENAMPILAN PENCAK SILAT – Pencak silat yang ditampilkan oleh masyarakat setempat guna menghibur peserta sunat kapong dan pengunjung yang menyaksikan jalan kegiatan tersebut.


Catatan:

1. Nganggung adalah membawa makanan di dalam dulang atau talam yang ditutup dengan tudung saji ke masjid, surau, atau balai desa untuk dimakan bersama setelah pelaksanaan ritual agama (Zulkifli, 2007:53).
2. Ceriak-beceriak atau becerita adalah bermusyawarah dengan melakukan pemanggilan orang-orang kampung oleh dukun yang tujuannya untuk menentukan waktu pelaksanaan Sedekah Kampung.
3. Istana adalah sebutan masyarakat terhadap makam keturunan tetua adat yang dijadikan sebagai tempat ritual upacara permohonan izin untuk melaksanakan Sedekah Kampung (makam leluhur yang merupakan kakek buyut tetua adat yang menurut Kek Jemat, sekarang sudah keturunan kelima).
4. Naber kampung adalah pemercikkan air taber (batu pensucian) yang terbuat dari bahan-bahan tradisional serta dedaunan ke rumah-rumah masyarakat dan gaharu (dupa) dari kayu bolo (bambu) yang menurut tetua adat dahulunya dimaksudkan sebagai alat untuk menarik orang-orang Cina yang berdiam di desa tersebut agar memeluk agama Islam. Sedangkan Nangkel adalah pemberian tangkal (jimat) dimulai dari gerbang masuk kampung hingga perbatasan kampung. Pemberian jimat ini dimaksudkan untuk menangkal segala bentuk gangguan dari luar yang tidak menginginkan acara ini berlangsung. (Dinas Perhubungan, Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Bangka Barat, t.t: 6).
5. Betamat adalah membaca surat-surat pendek dari al-Qur’an secara bergantian (Zulkifli, 2007:54). Biasanya pembacaan surat-urat pendek tersebut dimulai dari surat Ad-Dhuha sampai An-Naas.
6. Semarang (Selawatan Barzanji) merupakan bacaan shalawat yang diambil dari kitab al-Barzanji yang dibacakan ketika mengiringi setiap arak-arakan yang dilakukan, baik untuk arak-arakan tamat ngaji maupun untuk sunat kapong.
7. Sunat Kapong adalah pemotongan ujung penis anak laki-laki yang masih menggunakan alat-alat tradisional. Sunat atau khitan sendiri adalah upacara memotong ujung penis anak lelaki dalam ukuran tertentu. (Saputra, 2008:17).
8. Bagian yang disunat/dikhitan pada anak laki-laki adalah tepi bulat yang menutupi hasyafah (ujung kemaluan), sedangkan pada anak perempuan adalah kulit yang berbentuk jengger ayam jantan di bagian atas farji.
9. Kitab ’Iqd Al-Jawahir (Kalung Permata) yang lebih dikenal dengan kitab Al-Barzanji adalah kitab yang ditulis oleh Syekh Ja’far al-Barzanji bin Husin bin Abdulkarim. Secara garis besar isi di dalam kitab Al-Barzanji melingkupi; 1) Silsilah Nabi Muhamad SAW, yakni Muhammad bin Abdul Muthalib bin Hasyim bin Abdul Manaf bin Qusay bin Kilab bin Murrah bin Ka’ab bin Fihr bin Malik bin Nadar bin Kinanah bin Khuzaimah bin Mudrikah bin Ilyas bin Mudar bin Nizar bin Ma’ad bin Adnan. Dari inilah silsilah akan berlanjut dengan Nabi Ismail AS dan Nabi Ibrahim AS. 2) Pada kanak-kanaknya banyak kelihatan hal luar biasa pada dan atau dari diri Muhammad SAW, misalnya malaikat yang membelah dadanya menyucikan hatinya, serta keluarga ibu susunya Halimah As-Sa’diah yang dilimpahi berbagai keberkahan. 3) Pada masa remajanya, kepedulian Muhammad SAW kepada masyarakat Makkah, seperti kegiatannya dalam kepanduan, menghindari pertentangan antar qobilah di Makkah dalam hal penempatan Hajar Aswat sehingga digelari al-Amin. Lalu umur 12 tahun, beliau dibawa pamannya Abu Thalib berniaga ke Syam (Suriah-Yordania) dan dalam perjalanan pulang Pendeta Nasrani bernama Buhaira melihat tanda-tanda kenabian padanya. Buhaira berpesan agar Abu Thalib waspada dalam memelihara keponankannya itu. 4) Usia 25 tahun menikah dengan Khodijah binti Khuwailid, mempunyai putra-putri, beberapa saat setelah beliau wafat, hanyalah tinggal Fatimah dan dari putrinya itulah beliau mempunyai cucu. Pada usia 40 tahun beliau menerima wahyu dan sekaligus pengangkatannya sebagai nabi dan rasul yang terakhir. Sejak itulah beliau menyiarkan agama Islam, 13 tahun di Makkah dan hijrah ke Madinah melanjutkan dakwahnya, sampai beliau wafat usia 62 tahun. Beliau mensyi’arkan agama Islam di Madinah selama 10 tahun. Dikutip dari H Zulkarnain Karim, ”Al-Barzanji” dalam Majalah Budaya Lawang, No. 02/th.I/Okt.–Nov, 2001, hal. 39.


Referensi:
Abdullah, Irwan, dkk., (ed.). 2008. Agama dan Kearifan Lokal dalam Tantangan Global, Yogyakarta: Sekolah Pasca Sarjana UGM
Abdullah, Irwan. 2002. Simbol, Makna dan Pandangan Hidup Jawa: Analisis Gunungan pada Upacara Garabeg, Yogyakarta: Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional
Agus, Bustanudin. 2002. Islam dan Pembangunan, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada
Aliyah, Samir. 2004. Sistem Pemerintahan, Peradilan & Adat dalam Islam, penerjemah: H. Asmuni, Jakarta: Khalifa
Beratha, I Nyoman. 1982. Desa, Masyarakat Desa dan Pembangunan Desa, Jakarta: Ghalia Indonesia
Dahri, Harapandi. 2009. Tabot: Jejak Cinta Keluarga Nabi di Bengkulu, Jakarta: Penerbit Citra
Dinas Perhubungan, Kebudayaan dan Pariwisata Kab. Bangka Barat. t.t. .Booklet Pariwisata Negeri Sejiran Setason
Hakim, Atang Abdullah dan Jaih Mubarok. 2006. Metodologi Studi Islam, Bandung, PT Remaja Rosdakarya
Koentjaraningrat. 1990. Pengantar Ilmu Antropologi, Jakarta: PT Rineka Cipta
Zulkifli. 2007. Kontinuitas Islam Tradisional di Bangka, Sungailiat-Bangka: Shiddiq Press

وَاسْتَعِينُواْ بِالصَّبْرِ وَالصَّلَوةِ وَإِنَّهَا لَكَبِيرَةٌ إِلاَّ عَلَى الْخَـ شِعِينَ

Jadikanlah sabar dan shalat sebagai penolongmu.

Dan sesungguhnya yang demikian itu sungguh berat,

kecuali bagi orang-orang yang khusyu',

(Al-Baqarah: 45)