Selasa, 29 Desember 2009

Haji Batin Sulaiman, Penulis Naskah Arab Melayu


Haji Batin Sulaiman; Penulis Naskah Arab Melayu

Dari Kitab karya Syaikh Nuruddin ar-Raniri

Oleh : Suryan Masrin



Haji Batin Sulaiman merupakan nama yang asing dalam nama tokoh-tokoh penyalin naskah kemelayuan di Indonesia, mungkin kebayakan orang tidak pernah mendengar dan bahkan sama sekali tidak mengenal cerita tentangnya. Akan tetapi ada sedikit goresan cerita yang didengar, kalau ia juga konon dikenal dijawa. Ia adalah seorang keturunan kebangsaan China asli dengan marga Chao, nama aslinya adalah Siang Chao,[1] yang datang ke Bangka kira-kita tahun 1917-an sebagai pekerja orang Belanda (penjajah) yang mengambil timah di Muntok Bangka, sekarang Kabupaten Bangka Barat yang terkenal dengan lada putihnya hingga mancanegara. Setelah sekian lama menjadi pekerja orang Belanda, ia merasa penting untuk dirinya harus membebaskan diri dari cengkraman orang Belanda sebagai seorang pendatang dari negeri luar. Akhirnya, diperkirakan tahun 1925-an iapun melarikan diri kesuatu daerah yang tergolong sedikit pedalaman, tepatnya di desa peradong kecamatan Simpang Teritip Kabupaten Bangka Barat (sekarang).


Setelah sekian tahun lamanya tinggal di desa Peradong, akhirnya ia masuk agama Islam dan kemudian beristrikan penduduk setempat dan memberikan keturunan sebanyak 5 orang, 4 orang perempuan dan 1 orang laki-laki. Ia – pun mulai memperdalam pengetahuan tentang Islam, hingga datang tiba baginya waktu untuk menurutkan keinginannya. Berangkatlah ia menunaikan ibadah haji kekota Makkah al-Mukarromah dengan melewati transportasi laut, dengan kapal kayu. Pada waktu itu belum ada orang yang berangkat untuk haji dengan menggunakan pesawat terbang. Kurang lebih tiga bulan lamanya perjalanan dari Bangka – Indonesia ke kota Makkah, perjalanan yang sangat lama untuk menunaikan ibdaha haji yang merupakan rukun Islam yang kelima. Sampailah rombongan tersebut di kota Makkah. Tak puas setelah selesai menunaikan ibadah haji di kota Makkah, demi untuk mendalami Islam ia – pun memutuskan untuk menetap di kota Makkah. Diperkirakan tiga tahunan ia tinggal di kota Makkah belajar dan mendalami Islam, akhirnya tiba waktunya untuk pulang kembali ke tempat peraduan, menemui istri dan anak-anaknya di Bangka – desa Peradong. Setelah sampai di desa Peradong, tepatnya di Pekal Bawah[2] ia mulai menyebarkan ilmunya yang diperoleh dari tanah suci Makkah tersebut. Salah satu muridnya yang penulis dapat dari cerita tokoh agama dusun Menggarau, desa Peradong adalah Kek Pi’i (Peradong), Kek Klares (Peradong), Kek Yasir dan Abdurahim (masyarakat asli di kecamatan Simpang Teritip). Sekian tahun lamanya ia berkutat dalam memberikan ilmunya kepada murid dan msyarakat setempat, ia menulis naskah salinan dari kitab karya Syaikh Nuruddin ar-Raniri yang bernama Asroru al-Insan”. Naskah tersebut teselesaikan di Desa Peradong pada hari Sabtu pukul 12 siang, tanggal 14 Rabiul Awwal 1454 H/1932M. Penulis hanya bisa menemukan satu buah naskah hasil tulisan beliau, yang masih menggunakan lembaran kertas tempo dulu dan memakai tinta asli cina dengan warna tulisan merah untuk tulisan arab asli (arab gundul) dan hitam untuk tulisan arab melayu (terjemahan/penjelasannya).


Begitulah perjalanan hidup Haji Batin Sulaiman yang penulis ketahui dari sumber-sumber yang didapat. Menurut pengetahuan penulis, beliau adalah salah satu penulis naskah yang ada di provinsi Kepulauan Bangka Belitung, selain Syaikh Abdurrahman Sidiik dan lain-lain. Ia wafat diperkirakan tahun 1960-an di Desa Peradong. Mudah-mudahan dengan jalan ini ada para pecinta tokoh-tokoh kesejarahan yang ingin mengetahui dan meneliti lebih lanjut. Wallahu a’lam.

Wassalam……



[1] Wawancara dengan Atok Buter, salahsatu murid dari muridnya Haji Batin Sulaiman, wawancara tanggal 20 Januari 2008.

[2] Nama tempat ia mengajarkan dan menyebarluaskan ilmunya, sekarang tempat perkuburan Dusun Menggarau, termasuk makmn beliau.

Kamus Bahasa Jering




Kata / Kalimat

Terjemahan

Ade

Agik – dak agik

Aok

Aok gek

ayuk

Aiyek

Angein

Basing

Bilong

Bejik

Bekinjak

Balek

Bine

Bine temen

Bekawak

Becakep

Bekisah

Dak ungang / Dak kawa

Dak rengakk

Dilak

Dak pecaya

Dak ade / dakde

Gapek

Galek

Gek

Kiyun

Kemaik

Gerei

Gek gerei

Gek lah

Gulei

Ilah gek

Jareng

Jareng-jareng

Jalen

Jiet

Jiet tubet

Kaben

Kawak

Kakei

Kreng

Lingah – Lambet

La gek

Leteh

Laot

Malieng

Melehkok

Mereh

Macem

Macem-macem

Malek

Minjiem

Maen

Mekacai

Namaok

Namaik

Nye

Nye urang

Ngeliet

Nok

Nok yuk

Ngulau

Ngalok

Ngeleset

Ngulek

Panggak

Pinggen

Punggo-eng

Sebile

Sige-ek / sutek / Siko-k

Suat

Suat ik

Silu / lebei

Singgah

Suduk

Selai

Tangen

Temen ge

Tubet

Tubet tisal

Uben – Nek uben

Ume

Umah

Yuk

Yik

Ada

Lagi – tidak ada lagi = habis

Ya, iya

Benarkah

Kakak perempuan

Air

Angin

Terserah

Telinga

Benci

Bergurau

Pulang

Banyak

Banyak sekali

Berteman

Berbicara

Bercerita

Tidak mau

Tidak suka

Nanti

Tidak percaya

Tidak ada

Habis, kosong, tidak ada

Sering

Pergi

Kesana

Kesini

Jalan-jalan

Pergi jalan-jalan

Pergilah

Masakan = biasanya dengan kuah (bukan tumisan)

Benarkah

Jarang, kaang, bersela, renggang

Kadang-kadang

Jalan

Jelek

Jelek sekali

Orang yang mengiring / menemani

Kawan, teman, sahabat

Kaki

Marah

Lambat

Sudah belum

Lelah

Laut

Pencuri, maling

Mungkin

Mendatangi – di / pada (menunjukkan tempat untuk orang)

Seperti

Bermacam-macam

Bosan

Minjam

Main

Mengolok-olok, mengejek – mengatai

Begitu

Begini

Dia

Mereka

Melihat

Yang

Yang itu

Mencaci, mengomel

Menjelekkan – mengatai

Mengupas

Kembali

Kayak, seperti

Piring

Punggung

Kapan

Satu, sebuah

Sebentar

Sekarang

Hayolah!

Berhenti

Sendok

Selembar

Tangan

Benarkah

Tidak mau

Tidak mau sama sekali, enggan

Uban – nenek yang bermbut sudah ubanan

Ladang

Rumah

Itu

Ini


Tradisi Sedekah Kampung Peradong - Bangka Barat - Indonesia



Oleh: Suryan Masrin*


BAB 1 Pendahuluan


A. Latar Belakang

Setiap bangsa dan suku bangsa memiliki agama sebagai kepercayaan yang mempengaruhi manusia sebagai individu, juga sebagai pegangan hidup. Disamping agama, kehidupan manusia juga dipengaruhi oleh kebudayaan. Kebudayaan menjadi identitas dari bangsa dan suku bangsa. Maka disamping mempunyai agama, seseorang biasa pula bagian dari suku tertentu. Suku tersebut memelihara dan melestarikan budaya.[1] Kebudayaan sebagai hasil dari cipta, karsa dan rasa menusia menurut Alisyahbana (1986), merupakan suatu keseluruhan yang kompleks yang terjadi dari unsur-unsur yang berbeda-beda seperti pengetahuan, kepercayaan, seni, hukum, moral, adat istiadat, dan segala kecakapan yang diperoleh manusia sebagai anggota masyarakat.[2] Dalam masyarakat, baik yang kompleks maupun yang sederhana, ada sejumlah nilai budaya yang satu dengan lain berkaitan hingga merupakan suatu sistem, dan sistem itu sebagai pedoman dari konsep-konsep ideal dalam kebudayaan memberi pendorong yang kuat terhadap arah kehidupan warga masyarakatnya.[3]

Tradisi sebagai salah satu bagian dari kebudayaan menurut pakar hukum F. Geny adalah fenomena yang selalu merealisasikan kebutuhan masyarakat. Sebab yang pasti dalam hubungan antar individu, ketetapan kebutuhan hak mereka, dan kebutuhan persamaan yang merupakan asas setiap keadilan menetapkan bahwa kaidah yang dikuatkan adat yang baku itu memiliki balasan materi, yang diharuskan hukum. Sebagaimana kaidah ini sesuai dengan naluri manusia yang tersembunyi, yang tercermin dalam penghormatan tradisi yang baku dan perasaan individu dengan rasa takut ketika melanggar apa yang telah dilakukan pendahulu mereka.[4] Tradisi ini dilakukan sebagai pengungkapan atas rasa syukur terhadap anugerah yang telah diberikan oleh Sang Pencipta, yang kental dengan nuansa keagamaan. Tradisi tersebut dilakukan sesuai dengan tata letak dan kultur daerah, khususnya yang banyak melakukan tradisi-tradisi tersebut adalah daerah pesisir. Sebagaimana Upacara Tawar Laut/Ketupat Laut, Tahun Baru Cina, Sembahyang Kubur Cina, Sembahyang Pantai, Kawin Massal,[5] Perang Ketupat, Mandi Belimau, Sedekah Kampung, Nganggung[6] dan lainnya yang dilakukan di Kepulauan Bangka Belitung. Pewarisan tradisi tersebut dapat terjadi melalui pertunjukkan upacara adat pada suatu masyarakat.

Sejalan dengan pengertian di atas, upacara di sini merupakan sumber pengetahuan tentang bagaimana seseorang bertindak dan bersikap terhadap suatu gejala yang diperolehnya melalui proses belajar dari generasi sebelumnya dan kemudian harus diturunkan kepada generasi berikutnya.[7] Ritual keagamaan yang dibungkus dengan bentuk tradisi ini dilakukan secara turun temurun dan berkelanjutan dalam periodik waktu tertentu, bahkan hingga terjadi akulturasi dengan budaya lokal.[8] Seperti apa yang diperlihatkan masyarakat Bangka Belitung dalam pengungkapan rasa syukur atas anugerah yang diberikan oleh Sang Pencipta. Kajian penelitian ini difokuskan pada tradisi Sedekah Kampung di desa Peradong Kecamatan Simpang Teritip Kabupaten Bangka Barat, yang telah melakukan tradisi Sedekah Kampung selama puluhan tahun, yang diwariskan oleh nenek moyang. Akan tetapi selama itu pula tradisi tersebut belum dikenal masyarakat luas, khususnya di Kepulauan Bangka Belitung. Perayaan ini biasa dilaksanakan penduduk desa Peradong setiap tahun bertepatan dengan bulan Maulud (Rabiul Awwal). Biasanya perayaannya berlangsung selama 2 hari, yaitu pada hari Sabtu dan Minggu. Perayaan ini dilaksanakan setelah lima belas hari bulan dilangit[9] tahun Hijriyah. Sedekah Kampung seperti halnya tradisi-tradisi lainnya merupakan bagian dari rumpun Pesta Adat[10] yang dikenal dan banyak dilakukan di wilayah pedesaan.

Dalam pelaksanaannya (selama dua hari), proses dimulai dengan arak-arakan masyarakat menuju istana[11] untuk melaksanakan ritual upacara permohonan izin melaksanakan Sedekah Kampung. Setelah upacara permohonan izin kepada leluhur, serta setelah naber dan nangkel[12] kampung selesai, kemudian dukun (tetua adat) kembali kekediamannya. Sedangkan arak-arakan masyarakat dilanjutkan dengan penjemputan peserta khataman al-Qur’an menuju masjid untuk melaksanakan tamat ngaji (betamat[13]). Setiap arak-arakan yang dilakukan, baik arak-arakan tamat ngaji dan sunatan selalu diiringi dengan semarang (selawatan barzanji). Upacara ini dilakukan sebagai petanda bahwa seorang anak yang telah melaksanakan tamat ngaji dianggap pandai membaca al-Qur’an. Setelah tamat ngaji selesai, acara dilanjutkan dengan nganggung bersama dimasjid tersebut. Pada malam harinya (malam minggu) di adakan hiburan kampung, yaitu penampilan musik Dambus dan Campak serta nyanyian lagu-lagu daerah dan diiringi dengan tarian oleh ibu-ibu dan gadis-gadis penduduk.

Hari berikutnya, dilaksanakan upacara Sunat Kapong[14] yang masih menggunakan alat-alat tradisional, dimulai pukul 03.00 WIB peserta (anak-anak) yang akan disunat berendam di dalam air (di aek kapong) kurang lebih selama 3 jam, kemudian kira-kira pukul 06.00-07.00 pelaksanaan sunatan yang dilakukan oleh mudim (tukang sunat kampung). Setelah selesai, peserta sunatan diarak-arak keliling kampung dengan menggunakan kereta hiasan dengan berbagai macam variasi. Perubahan-perubahan mendadak dalam suatu masyarakat tradisional, apakah sebagai akibat penaklukan kebudayaan asing maupun revolusi internal, meruntuhkan adat-istiadat yang menjadi jaminan bagi stabilitas sosial.[15] Oleh karena itu perlu dilakukan usaha untuk tetap menjaga dan melestarikannya.

Dari kajian ini ada dua manfaat yang diharapkan. Petama, dapat menambah pengetahuan tentang salah satu bagian dari tradisi orang Bangka Belitung yang masih bertahan hingga saat ini, juga sebagai usaha untuk memperkaya kepustakaan antropologi. Kedua, diharapkan agar menjadi informasi yang penting bagi pemerintah mengenai tradisi masyarakat Bangka Belitung. Juga sebagai pengetahuan untuk meninjau kembali program pengembangan kebudayaan daerah dan bagi pengembangan pariwisata di Kabupaten Bangka Barat, khususnya di kecamatan Simpang Teritip. Selain itu juga semoga dapat menjadi informasi bagi kajian-kajian yang sejenis dengan cara memahami bentuk-bentuk yang menyimpan makna bagi kehidupan orang banyak dan bermanfaat untuk memahami tradisi-tradisi lain yang sejenis yang ada pada masyarakat Bangka Belitung.


B. Kerangka Teori


Pernyataan Geertz yang menjelaskan bahwa kebudayaan dapat dilihat pada peristiwa-peristiwa publik sperti ritual, festival atau perayaan tertentu karena pada peristiwa-peristiwa tersebut orang mengekspresikan tema-tema kehidupan sosial melalui tindakan simbolik. Sebagai sistem-sistem yang saling terkait dari tanda-tanda yang dapat ditafsirkan (dengan mengabaikan pemakaian yang sempit, akan disebut simbol-simbol), kebudayaan bukanlah sebuah kekuatan untuk memberikan ciri kausal pada peristiwa-peristiwa sosial, perilaku-perilaku, pranata-pranata, atau proses-proses. Lanjutnya, kebudayaan merupakan sebuah konteks yang di dalamnya semua hal itu dapat dijelaskan denagan terang yakni secara mendalam.[16] Menurut Geertz, seorang antropolog dapat melakukan interpretasi terhadap kejadian-kejadian atau kelakukan masyarakat dengan memperlakukannya sebagai ‘teks’ (teks sosial), yakni sebagai model realitas dan model untuk realitas sehingga dapat menungkapkan makna di balik pola sosial dimaksud.

Dalam tradisi, ‘teks’ tersebut berupaya menggambarkan kepada masyarakat bagaimana berkelakuan.[17] Eaton dalam bukunya Remembering God: Reflection on Islam menjelaskan bahwa ”tradisi-tradisi agama yang ‘diturunkan’ atas manusia (meminjam frase yang sering digunakan al-Qur’an) mengaku menawarkan sebuah paspor menuju surga. Jika hal ini benar; sesungguhnya ia merupakan kekayaan yang tak ternilai juga.”[18] Tradisi sebagai salah satu bagian dari kebudayaan sebagaimana telah dikemukakan oleh pakar hukum F. Geny adalah fenomena yang selalu merealisasikan kebutuhan masyarakat. Sebab yang pasti dalam hubungan antar individu, ketetapan kebutuhan hak mereka, dan kebutuhan persamaan yang merupakan asas setiap keadilan menetapkan bahwa kaidah yang dikuatkan adat yang baku itu memiliki balasan materi, yang diharuskan hukum. Sebagaimana kaidah ini sesuai dengan naluri manusia yang tersembunyi, yang tercermin dalam penghormatan tradisi yang baku dan perasaan individu dengan rasa takut ketika melanggar apa yang telah dilakukan pendahulu mereka.[19]

Pewarisan tradisi tersebut dapat terjadi melalui pertunjukkan upacara adat pada suatu masyarakat. Upacara di sini merupakan sumber pengetahuan tentang bagaimana seseorang bertindak dan bersikap terhadap suatu gejala yang diperolehnya melalui proses belajar dari generasi sebelumnya dan kemudian harus diturunkan kepada generasi berikutnya[20]. Ritual keagamaan yang dibungkus dengan bentuk tradisi ini dilakukan secara turun temurun dan berkelanjutan dalam periodik waktu tertentu, bahkan hingga terjadi akulturasi dengan budaya lokal.[21] Menurut Geertz, Upacara selalu mengingatkan manusia tentang eksistensi mereka dan hubungan mereka dengan lingkungan karena melalui upacara warga suatu masyarakat dibiasakan untuk menggunakan simbol-simbol yang bersifat abstrak yang berada pada tingkat pemikiran untuk berbagai kegiatan sosial yang ada dalam kehidupan mereka sehari-hari.[22] Inkulturasi bentuk upacara tradisi keagamaan itu dipahami sebagai sesuatu yang berbeda atau variasi (diferensiasi).[23] Perbedaan ini dilatarbelakangi oleh kebudayaan Indonesia dimasa lalu yang masih mewarnai tradisi keagamaan sampai sekarang, yaitu adanya dualisme kebudayaan yang menunjukkan dua sub sistem dalam masyarakat tradisional. Tradisi keagamaan yang dinamakan dengan Sedekah Kampung yang berkembang dilingkungan pedesaan, khusunya di desa Peradong kecamatan Simpang Teritip berbeda dengan di tempat lainnya. Walaupun maksud dari pelaksanaan tersebut sama, namun corak dan gayanya berbeda. Tidak menuntut kemungkinan adanya pengaruh atau perembesan budaya, dari budaya yang dipandang lebih tinggi, yang biasanya memancarkan sinarnya kepada budaya rakyat atau desa. Sedekah kampung tergolong sebagai upacara jenis ceremony karena Sedekah Kampung merupakan tingkah laku pengukuhan dari pernyataan kelompok terhadap situasi tertentu, sebagai pengungkapan rasa syukur atas anugerah yang telah diberikan oleh Sang Pencipta. Studi terhadap aneka macam ritus keagamaan bisa dimaknai sebagai upaya memahami budaya materi yang memiliki maksud umum bahwa benda juga mengkomunikasikan arti seperti halnya bahasa.[24]

Pendekatan yang digunakan untuk mengkaji ritual dalam tradisi Sedekah Kampung ini adalah pendekatan yang dikembangkan oleh Leslie White dan Julian Steward; ’materialis kultural’, bahwa struktur sosial dan suprastruktur ideologi ditentukan oleh mode produksi dan mode reproduksi masyarakat, yang menjelaskan tentang cara-cara manusia dengan sarana kebudayaan yang dimilikinya memanipulasi dan membentuk ekosistem sendiri. Sehingga pada akhirnya menghasilkan keragaman konfigurasi dan sistem budaya.[25]

Pendekatan ini dikenal juga sebagai ’neo-evolusionisme’ atau ’ekologi budaya’ yang menjelaskan bahwa cara-cara khas yang digunakan masayarakat untuk menghadapi keharusan itu pada tempat dan waktu yang berlainan, setidaknya dapat memberikan sebagian jawaban tentang cara masyarakat tersebut mengorganisasikan kehidupan ekonomi dan sosial, menciptakan ritual keagamaan, dan mengembangkan pandangan serta keyakinan artistik di samping mengembangkan falsafahnya. Dengan pendekatan ini berarti kita melihat bagaimana masyarakat menjalankan, melanggar, dan memanipulasi norma-norma dan nilai-nilai yang terkandung dalam tradisi Sedekah Kampung tersebut. Tradisi ini dilakukan biasanya dihubungkan dengan keinginan-keinginan masyarakat, maksud-maksud, tujuan-tujuan, dan arti yang dirumuskan secara eksplisit.


C. Metodologi penelitian


Subyek Penelitian

Subyek penelitian ini adalah masyarakat Desa Peradong Kecamatan Simpang Teritip Kabupaten Bangka Barat yang diperoleh dari nara sumber dan informan, yaitu tetua adat (sebagai sumber utama) dan masyarakat sekitar.

Jenis Data

Dari sumber data yang telah dihimpun dilapangan, maka jenis data yang diperlukan dalam penelitian ini adalah data yang merupakan bentuk luar dari ciri-ciri yang teramati yang membantu dalam memahami interpretasi yang diberikan informan dan data yang merupakan interpretasi yang dikemukakan oleh informan, yaitu data yang dihimpun, yang berhubungan dengan ritual tradisi Sedekah kampung, kehidupan keagamaan, nilai pendidikan Islam dan aktivitas kebiasaan masyarakat Desa Peradong.

Metode Pengumpulan Data

Wawancara mendalam dan langsung (indepth interview) kepada informan/narasumber. Metode ini digunakan untuk mendapatkan data berupa sejarah dilaksanakannya Sedekah Kampung, ritual dan tujuan dilaksanaannya.

Observasi langsung terlibat (participant observation), teknik/metode ini digunakan untuk mendapatkan fakta-fakta empirik yang tampak (kasat mata) dan guna memperoleh dimensi-dimensi baru untuk pemahaman konteks maupun fenomena yang diteliti,[26] yang digunakan untuk mendapatkan data mengenai ritual upacara tradisi Sedekah Kampung.

Dokumentasi, metode ini merupakan pengumpulan data yang mendukung kegiatan penelitian, yaitu keadaan realitas sosial budaya masyarakat desa Peradong.

Analisis Data

Setelah semua data terkumpul dan dihimpun, selanjutnya dilakukan analisis data. Dalam penelitian kualitatif ini, data yang terkumpul dianalisis setiap waktu secara induktif selama penelitian berlangsung dengan mengolah bahan empirik synthesizing, supaya dapat disederhanakan kedalam bentuk yang lebih mudah dibaca, dipahami, dan diinterpretasikan.[27] Analisis data dalam penelitian ini menggunakan analisis deskriptif kualitatif, yaitu dengan menghubungkan dan menafsirkan hasil data kemudian memberi kesimpulan induktif[28] berdasarkan/berkenaan dengan kualitas atau mutu, juga disebut dengan analisis data kualitatif, yaitu data yang berhubungan dengan katagorisasi, karakteristik atau sifat sesuatu; misalnya baik, sedang, kurang baik, dan tidak baik, biasanya data ini tidak berhubungan dengan angka-angka.[29]



BAB 2 Potret Masyarakat Peradong


A. Asal Mula Desa Peradong


Masyarakat Peradong pada awalnya tinggal di daerah perbukitan dan pesisir pantai, kemudian mereka bercocok tanam di daerah tersebut. Setelah sekian lama tinggal, mereka merasa butuh tempat untuk bermukim (menetap dalam sebuah perkampungan). Setelah dilakukan pertemuan untuk menentukan tempat bermukim, maka diutuslah salah seorang di antara mereka untuk menelusuri daerah tersebut dan mencari tempat yang cocok untuk dijadikan tempat bermukim. Kemudian ditemukanlah tempat tersebut, yaitu di kawasan dataran rendah dekat dari sungai yang kemudian sungai tersebut dinamakan dengan Sungai Pelangas. Dinamakan dengan Sungai Pelangas karena sumber aliran sungai tersebut berasal dari Gunung Pelangas, yang alirannya melewati Desa Berang hingga ke Desa Peradong. Dari Desa Peradong aliran sungai mengalir hingga ke pesisir pantai dan bertemu dengan air laut. Pertemuan antara air sungai dengan air laut tersebut disebut dengan ’muara’,[30] atau masyarakat setempat biasa mengenalnya dengan sebutan ’kuala’. Pantai tersebut kemudian dinamakan dengan Pantai Mesirak dan 200 meter berikutnya ada juga pantai yang dinamakan dengan Pantai Metibak. Kedua pantai ini bila ditelusuri menuju hingga ke Pantai Tanjung Ular yang berada di daerah Muntok kabupaten Bangka Barat.


Setelah itu mulailah penduduk melakukan penggarapan di tempat mukim (tempat tinggal) yang baru tersebut. Seperti diceritakan oleh Kek Jemat seorang tetua adat Desa Peradong (dikenal sebagai dukun kampung), bahwa “sewaktu penduduk tersebut mulai melakukan penggarapan tempat mukim yang baru tersebut, banyak kayu-kayu (pohon) besar yang harus ditebang”.[31] Kayu tersebut dikenal penduduk dengan sebutan kayeow Peradong yang besarnya sampai tige pelok (tiga pelukan orang dewasa). Untuk menebang kayu tersebut menurut tetua adat harus menggunakan/memberikan sesajen (sesembahan), berupa bubur puteh mirah[32] ditambah dengan pulot item[33] dan telok ayem butet.[34]


Inilah cikal bakal berdirinya Desa Peradong (Kapong Peradong). Mungkin dinamakan demikian karena banyaknya kayu Peradong yang besar-besar. Bahkan menurut Kek Jemat bahwa; ”Kapong Peradong ik adelah kapong yang paling dulok kalei ade di wilayah kita suwat ik (di Kecamatan Simpang Teritip, Kelapa, Jebus dan sekitar Muntok)”.[35] (Kampung Peradong ini adalah kampung–desa–dusun yang paling pertama kali ada di wilayah kita sekarang ini (di Kecamatan Simpang Teritip, Kelapa, Jebus, dan sekitar Muntok)).


Berdasarkan informasi yang diperoleh di lapangan, memang benar Desa Peradong merupakan desa yang pertama kali, tetapi hanya di sekitar Kecamatan Simpang Teritip, khususnya di sekitar Desa Pangek, Air Nyatoh, dan Berang. Seperti diceritakan oleh Atok Pardi (dikenal masyarakat dengan panggilan Mang Pek) bahwa Desa Pangek, Air Nyatoh, dan Berang merupakan desa yang tanahya pemberian dari tanah milik Desa Peradong.[36] Hal ini juga dibenarkan oleh Nek Limah, bahwa seingat beliau yang sekarang telah berumur 90-an lebih tahun, Kampung Peradong sudah menjadi tempat tinggal masyarakat.[37] Menurut beliau, bahwa Kampung Peradong telah ada semasa penjajahan Belanda. Untuk keberadaannya tidak diketahui apakah Kampung Peradong telah ada sebelum penjajahan Belanda atau semasa penjajahan Belanda. Pada masa itu, untuk jabatan kepala desa masih menggunakan istilah Gegading.[38]


B. Geografi, Demografi dan Kependudukan


Geografi dan Demografi

Desa Peradong yang mempunyai dua dusun, yaitu dusun Menggarau dan dusun Rimba menempati wilayah seluas 40 Km² dengan batas wilayah di sebelah utara berbatasan dengan Desa Air Nyatoh, sebelah selatan berbatasan dengan Desa Pengek, sebelah barat berbatasan dengan Laut Natuna dan sebelah timur berbatasan dengan Desa Berang dan Desa Ibul. Secara geografis terletak pada 105.00-106.00 Bujur Timur dan 01.00-02.00 Lintang Selatan dengan curah hujan rata-rata 100mm/bulan atau sekitar enam bulan jumlah bulan hujan (tergolong iklim tropis dan basah), dan suhu udaranya berkisar antara 23,5˚C sampai maksimum 31,1˚C. sebagian besar wilayahnya adalah daratan rendah sedangkan sebelah barat berupa pesisir pantai dan sebelah timur dan utara berupa bukit dan hutan tropis. Dengan orbitasi jarak tempuh ke Ibu Kota kecamatan sekitar 5 Km, jarak ke Ibu Kota Kabupaten sekitar 39 Km dan jarak tempuh ke Ibu Kota provinsi sekitar 105 Km. Desa Peradong tergolong wilayah pesisir, sungai kecil dan cadangan hutan yang luas, iklim dan curah hujan yang relative merata sepanjang tahun sangat menuntungkan bagi pertanian dan nelayan untuk mencukupi kebutuhan hidup sehari-hari.


Kependudukan

Berdasarkan data dan letak kpendudukan, desa peradong merupakan bagian wilayah kecamatan Simpang Teritip Kabupaten Bangka Barat dengan jumlah penduduk 1546 jiwa dari jumlah laki-laki 771 jiwa dan perempuan 775 jiwa yang terdiri dari 330 kepala keluarga (KK) dengan pertumbuhan penduduk rata-rata 2% pertahun (data tahun 2008 sampai awal 2009)..

Dilihat dari asal penduduk, sebagian besar (90%) merupakan penduduk asli keturun masyarakat desa Peradong (Melayu (Islam) dan Tionghoa (Cina), selebihnya sekitar 10% merupakan pendatang yang berasal dari luar daerah, seperti Sumatra dan Jawa.

Secara etnis penduduk asli desa Peradong dikelompokkan menjadi dua, yaitu; pertama, kelompok Melayu yang hidup menetap dan berintegrasi dengan penduduk sekitar, yaitu, Air Nyatoh, Pangek, Simpang Teritip, Berang, Ibul, Pelangas dan Simpang Gong. Kedua, kelompok Tionghoa (Cina) yang sebagian besar telah berpindah keluar daerah.


Agama dan Kepercayaan

Secara komunitas, penduduk desa Peradong beragama Islam (95%) dari jumlah penduduk 1546 jiwa, yaitu 1521 orang beragama Islam dan 25 orang beragama Budha. Jumlah rumah ibadah yang ada di desa Peradong terdiri dari:

· Masjid Sebanyak 2 Buah

· Mushalla Sebanyak 3 Buah

· Kelenteng Sebanyak 1 Buah (tidak difungsikan lagi)


C. Sosial dan Budaya


Pada umumnya masyarakat desa Peradong tergolong masyarakat kehidupan sederhana dan tradisional. Tingkat ketergantungan hidup pada kekayaan alam seperti laut, sungai, hutan, tanah, tambang timah, dan perdagangan. Seperti keterangan dalam Selayang Pandang Kabupaten Bangka bahwa masyarakat Bangka secara turun temurun mengembangkan tanaman karet, sahang (lada), kelapa, kelapa sawit yang sebagian besar hasilnya diperdagangkan keluar daerah atau keluar negeri.[39] Dalam kehidupan, desa Peradong belum mempunyai kendaraan umum untuk alat transpotasi, yang ada hanyalah kendaraan pribadi beroda empat dijadikan pengganti alat transportasi tersebut. Disamping itu kendaraan bermotor juga dijadikan sebagai alat transportasi. Untuk sarana jalan umum, di desa Peradong sudah cukup baik, walaupun aspal jalannya sudah banyak yang berlubang. Penerangan di desa Peradong telah menggunakan Listrik umum aliran dan Muntok sejak tahun 1997.

Masyarakat desa Peradong pada mulanya tinggal di perbukitan kawasan desa tersebut yang kemudian berpindah kedaerah dataran. Kemudian membuat pemukiman menjadi kampung yang terus bertambah dan mnyebar menjadi dua wilayah yang dibatasi oleh sungai Pelangas. Wilayah tersebut dinamakan dengan Peradong (sebagai Induk kampung) dan Menggarau (yang dijadikan sebagai dusun). Sekarang telah ditambah menjadi 2 dusun, yaitu dusun Menggarau dan dusun Rimba.

Secara kebudayaan, masyarakat desa Peradong meiliki beberapa tradisi yang telah turun temurun dilakukan, yaitu Sure[40] atau Suro (Nge-bubur campur-campur) setiap tanggal 10 Muharram, Sedekah Ruwah[41] bulan Sya’ban dan Sedekah Kampung setiap bulan Maulud (Rabiul Awwal). Dua dari tradisi yang dimeriahkan adalah Sure dan Sedekah Kampung.

D. Ekonomi dan Pendidikan


Secara garis besar masyarakat Peradong tergolong tingkat penghasilan menengah ke bawah per bulannya, yang menunjukkan kehidupan tergolong kelompok miskin. Kebodohan menyebabkan mereka dalam berusaha memenuhi kebutuhan hidup masih dengan cara tradisional yang diajarkan turun temurun. Pertanian dan perkebunan merupakan usaha pokok yang dilakukan masyarakat Peradong sebagai sumber kehidupan. Di samping pertanian dan perkebunan, masyarakat Peradong juga sebagai nelayan, budidaya (perikanan) dan sebagai buruh harian tambang inkonvensional (TI). Pekerjaan ini mereka lakukan sebagai pilihan alternatif untuk menunjang ekonomi mereka. Sedangkan hutan yang dimiliki; hutan produksi 10 ha, milik adat 10 ha dan 10 ha bukan milik adat, selebihnya milik pemerintah (HP).

Masyarakat Peradong dengan angka lulusan tingkat pendidikan minim, akan mempengaruhi perkembangan dan pertahanan ekonomi masyarakat dalam menjalani kehidupan sehari-hari. Dapat dilihat dari angka tersebut, yang lulusan sarjana (S1) hanya dua orang itupun bukan dari perguruan tinggi formal, melainkan dari UT (universitas terbuka). Sedangkan untuk lulusan D3 1 orang (UT), D2 4 orang (UT), SMA 25 orang, SMP 48 orang dan SD hanya 92 orang untuk tahun kelulusan hingga tahun 2008, elebihnya tidak tamat sekolah dan tidak sekolah sama sekali. Untuk tempat menyelenggarakan pendidikan tersebut, di desa Peradong hanya terdapat 1 SD Negeri dan 1 PAUD.


Tabel 1.

Data pendidikan menurut usia 2007-2008

No

Kelompok Pendidikan

Jumlah

1

04 – 06

112 orang

2

07 – 12

150 orang

3

13 – 15

80 orang

Jumlah Total

342 orang

Sumber: Arsip Desa Peradong


Tabel 2.

Data pendidikan masyarakat berdasarkan tingkat pendidikan

Tahun 2007-2008

No

Pendidikan Berdasarkan Tingkat Pendidikan

Keterangan

Jenjang Pendidikan

Jumlah

1

Tidak Tamat SD

96 orang


2

SD

92 orang

Tamat

3

SMP

48 orang

Tamat

4

SMA

25 orang

Tamat

5

D1

-


6

D2

4 orang

Tamat

7

D3

1 orang

Tamat

8

D4

-


9

S1

2 orang

Tamat

10

S2

-


Jumlah Total



Sumber: Arsip Desa Peradong



BAB 3 Upacara Adat Sedekah Kampung Peradong


A. Persiapan Sebelum Upacara

Perayaan Sedekah Kampung telah dilaksanakan secara turun temurun dan tidak diketahui asal usul serta awal mulai dilaksanakannya. Perayaan ini biasa dilaksanakan penduduk Desa Peradong setiap tahun bertepatan dengan bulan Maulud (Rabiul Awwal) dan acaranya berlangsung selama 2 hari yang biasanya pada hari Sabtu dan Minggu. Biasanya acara ini dilaksanakan antara tanggal 15 sampai 30 Rabiul Awwal. Sebelum pelaksanaan acara tersebut, jauh sebelumnya pada malam hari sang tetua adat (dukun) sekarang Kek Jemat mengadakan ceriak (beceriak/becerita–musyawarah) pemanggilan orang-orang kampung sebagai pemberitahuan akan dilaksankannya upacara adat dan menentukan tanggal yang cocok untuk pelaksanaan upacara tersebut.

Pada tanggal yang telah ditetapkan tetua adat sebagai pawang desa dengan dibantu penduduk setempat memulai membuat batu persucian (taber) dengan menggunakan bahan-bahan tradisional serta dedaunan dan gaharu (dupa) dari kayu buluh (bambo). Menurut sang dukun dahulu kala penggunaan dupa ini adalah sebagai alat untuk menarik minat orang-orang cina yang berdiam didesa tersebut agar memeluk agama Islam.[42]


B. Jalannya Upacara

Setelah persiapan, seperti; batu persucian (taber) dan gaharu selesai, kemudian pada hari yang telah ditentukan tersebut, tetua adat dan masyarakat menyiapkan makanan dan minuman, serta buah-buahan, uang dan binatang peliharaan seperti; ayam dan bebek untuk diperbutkan setelah ritual upacara permohonan izin dilakukan. Semua peralatan telah dipersiapkan, kira-kira pukul 1 siang dimulai dari balai adat, tetua adat bersama penduduk arak-arakan menuju istana[43] dengan diiringi semarang (selawatan barzanji) guna untuk meminta izin dan memulai pelaksanaan sedekah kampung. Setelah sampai disana, sang dukun kemudian duduk diatas makam bersamaan dengan dihidangkan berbagai macam jenis makanan khas desa, uang serta hewan peliharaan seperti ayam dan bebek, kemudian mulai pembacaan do’a dan mantera. Setelah pembacaan do’a dan mantera selesai, penduduk naik keatas makam dan memperebutkan ayam, bebek dan buah-buahan serta uang yang ada diatas makam tersebut. Upacara kemudian dilanjutkan penampilan silat yang dilakukan oleh dua orang, kemudian sang dukun dan penduduk pembantunya melakukan pemberian tangkel (jimat) di empat penjuru dimulai dari istana tersebut menuju gerbang pintu masuk kedesa sampai akhir perbatasan desa tersebut. Pemberian jimat ini dimaksudkan untuk menangkal segala bentuk gangguan dari luar yang tidak menginginkan acara ini berlangsung.

Dalam pelaksanaa upacara ini, terdapat beberapa pantangan yang harus dipatuhi oleh semua orang yang mengikuti jalannya upacara ritual ini, yaitu duduk diatas pagar, meletakkan jemuran/pakaian berupa apapun diatas pagar dan bermain senter. Menurut penduduk apabila pantangan tersebut dilanggar, maka akan didatangi oleh makhluk-makhluk halus dan mengubahnya menjadi tepuler (kepala dengan wajah terbalik kebelakang). Untuk tetua adat selama acara berlangsung, tidak boleh makan dan minum.


BAB 4 Ritual Tradisi Sedekah Kampung Peradong

1. Tamat Ngaji/Betamat Massal

Tamat ngaji (betamat/tamatan Qur’an) merupakan upacara yang dilakukan sebagai petanda bahwa seorang yang telah melaksanakan tamat ngaji dianggap telah pandai membaca al-Qur’an. Upacara ini dilakukan dalam rangka mensyukuri anak-anak khususnya dan remaja yang telah menamatkan bacaan al-Qur’an. Dalam tamat ngaji, peserta yang ikut dalam upacara tersebut membaca surat-surat pendek dari al-Qur’an secara bergantian. Biasanya pembacaan surat-urat pendek tersebut dimulai dari surat ad-Dhua sampai an-Naas. Anak-anak dan remaja yang tidak (belum) pernah menamatkan pembacaan al-Qur’an tentu tidak dapat ikut betamat. Namun bagi mereka yang telah menamatkan al-Qur’an boleh mengikuti untuk kedua kalinya. Bagi masyarakat Peradong, tamatnya anak-anak mereka membaca 30 juz al-Qur’an merupakan sesuatu yang sangat istimewa, sehingga perlu disyukuri secara khusus. Ritual ini memiliki makna dan fungsi yang sangat penting dalam pendidikan keagamaan di masyarakat karena orang yang tidak mampu membaca al-Qur’an atau tidak fasih dalam membacanya akan menanggung malu dan mendapat gunjingan dari masyarakat.[44] Untuk upacara ini, tampuk kegiatan dipegang oleh pak Penghulu mulai acara berlangsung sampai selesai.

Jalannya upacara ini di mulai pukul 15.00 dengan mengadakan arak-arakan penjemputan peserta kerumah masing-masing. Arak-arakan masyarakat tersebut dimulai dari balai desa diiringi dengan selawatan barzanji menuju perbatasan kampung, kemudian setelah sebagian peserta bergabung dalam arak-arakan tersebut, rute kembali menuju ke perkampungan. Kalau dalam upacara Sayyang Pattudu di Kabupaten Polewali Mandar Sulawesi Barat, peserta tamat al-Qur’an duduk di atas kuda dengan satu kaki ditekuk ke belakang, lutut menghadap ke depan, sementara satu kaki yang lainnya terlipat dengan lutut dihadapkan ke atas dan telapak kaki berpijak pada punggung kuda. Dengan posisi seperti itu, para peserta didampingi agar keseimbangannya terpelihara ketika kuda yang ditunggangi menari.[45]

Dalam upacara Sedekah Kampung, peserta (anak-anak dan remaja) tamat ngaji duduk di atas sepeda yang telah dihiasi dengan berbagai bentuk dan variasi yang didorong oleh orang tuanya dan orang dewasa lainnya dengan diikuti anak-anak dan remaja lainnya yang sebaya. Setelah semua peserta bergabung dalam arak-arakan tersebut, rute terus dilakukan menuju ke masjid. Sesampai di masjid, acara dimulai dengan sambutan dari penghulu, kepala desa dan guru ngaji, sebagaimana tersusun dalam susunan acara. Kemudian mulailah tamat ngaji dilakukan, diawali oleh guru ngaji memberikan aba-aba kepada peserta. Mulailah peserta membaca surat-surat pendek dalam al-Qur’an, yaitu dalam juz 30 diawali dari surat ad-Duha terus menerus secara bergantian hingga sampai pada surat an-Naas. Setelah selesai, dilanjutkan dengan pembcaan do’a khatam alQur’an yang biasanya dibacakan oleh penghulu. Akhirnya selesailah upacara tamat ngaji, peserta dan orang tuanya keluar dari masjid menuju ke rumah masing-masing. Bagi orang tua yang mampu, biasanya pada malam harinya atau ada juga sebagain yang langsung setelah tamat ngaji mengadakan selamatan di rumahnya.

2. Nganggung


Nganggung adalah suatu tradisi turun temurun yang hanya bisa dijumpai di Bangka. Karena tradisi nganggung merupakan identitas Bangka, sesuai dengan slogan Sepintu Sedulang, yang mencerminkan sifat kegotong royongan, berat sama dipikul ringan sama dijinjing.[46]


Nganngung atau yang dikenal masyarakat Bangka dengan Sepintu Sedulang merupakan warisan nenek moyang yang mencerminkan suatu kehidupan sosial masyarakat berdasarkan gotong-royong. Setiap bubung rumah melakukan kegiatan tersebut untuk dibawa kemasjid, surau atau tempat berkumpulnya warga kampung. Adapun nganggung merupakan suatu kegiatan yang dilakukan masyarakat dalam rangka memperingati hari besar agama Islam, menyambut tamu kehormatan, acara selamatan orang meninggal, acara pernikahan atau acara apapun yang melibatkan orang banyak. Nganggung adalah membawa makanan di dalam dulang atau talam yang ditutup tudung saji ke masjid, surau, atau balai desa untuk dimakan bersama setelah pelaksanaan ritual agama.[47]



Dalam acara ini, setiap kepala keluarga membawa dulang yaitu sejenis nampan bulat sebesar tampah yang terbuat dari aluminium dan ada juga yang terbuat dari kuningan. Untuk yang terakhir ini sekarang sudah agak langka, tapi sebagian masyarakat Bangka masih mempunyai dulang kuningan ini. Didalam dulang ini tertata aneka jenis makanan sesuai dengan kesepakatan apa yang harus dibawa. Kalau nganggung kue, yang dibawa kue, nganggung nasi, isi dulang nasi dan lauk pauk, nganggung ketupat biasanya pada saat lebaran. Dulang ini ditutup dengan tudung saji yang dibuat dari daun, sejenis pandan, dan di cat, tudung saji ini banyak terdapat dipasaran.Dulang ini dibawa ke masjid, atau tempat acara yang sudah ditetapkan, untuk dihidangkan dan dinikmati bersama. Hidangan ini dikeluarkan dengan rasa ikhlas, bahkan disertai dengan rasa bangga.


Namun dalam perkembangannya sekarang kegiatan nganggung yang masih eksis dipertahankan pada saat memperingati hari besar agama Islam, dan menyambut tamu kehormatan.

3. Sunat Kapong

Sunat atau khitan secara harfiah berarti sama dengan sunnah dalam bahasa Arab.[48] Sunat atau khitan makna aslinya dalam bahasa Arab adalah bagian yang dipotong dari kemaluan laki-laki atau perempuan.[49] Sunat dimaksudkan di sini hanya bagi laki-laki saja. Sunat merupakan upacara pemotongan ujung penis anak-laki dalam ukuran tertentu dalam ajaran Islam bagi anak yang akan memasuki akil baligh. Dalam tradisi Betawi, sunat diartikan sebagai proses atau etape pembeda. Bagi seorang anak laki-laki yang telah disunat berarti telah memasuki dunia akil baligh, maka dia dituntut atau seharusnya telah mampu membedakan antara yang hak dan yang bathil. Ia sudah selayaknya mampu menjaga diri dari perbuatan-perbuatan yang melanggar ajaran agama dan adat kesopanan di masyarakat.[50] Dengan kata lain, seorang anak laki-laki yang telah disunat dianggap sudah menjadi manusia yang sempurna dalam arti untuk menjalankan kewajiban sebagaimana halnya manusia dewasa sebagai pengabdi.

Pelaksanaan upacara sunat kapong dimulai pukul 03.00 WIB peserta (anak-anak) yang akan disunat berendam didalam air (di aek kapong) kurang lebih selama 3 jam, kemudian kira-kira pukul 06.00-07.00 pelaksanaan sunatan yang dilakukan oleh mudim (tukang sunat kampung), orang Betawi menyebutnya dengan bengkong. Setelah selesai, peserta sunat diarak-arak keliling kampung dengan menggunakan kereta hiasan dengan berbagai macam variasi.[51] Sebagaimana dikutip dari Majalah Kompas tanggal 04 September 2001 tentang proses pelaksanaan sunatan massal di desa Kundi Kecamatan Simpang Teritip yang juga sama dengan proses pelaksanaan di desa Peradong:

Menjelang pelaksanaan khitanan adat, dini hari sekitar pukul 03.30, warga dibangunkan dengan pukulan kenong oleh Jenang dari Balai Pertemuan sederhana yang disebut warga Kundi sebagai balai desa. Pukulan kenong itu terdengar jauh juga, sehingga bisa memba-ngunkan orang yang tengah terlelap tidur. Meski demikian, kehidupan pasar malam di Kundi yang berlangsung sampai hampir tengah malam, agaknya banyak membuat warga Kundi kelelahan sehingga hanya sedikit yang bisa datang ke balai desa.

Di balai desa inilah empat anak yang akan dikhitan kemudian duduk bersama dua orang Jenang, dibacakan doa, sementara sejumlah warga lainnya, tua maupun muda, melakukan tarian Tabo dengan diiringi kenong dan tiga gendang. Beberapa seri tarian Tabo dimainkan, sampai kemudian para anak yang akan dikhitan dibawa berjalan beriringan menuju sungai yang lebih mirip kolam. Di tempat yang jauhnya sekitar satu kilometer dari Bal.

Pukulan kenong itu terdengar jauh juga, sehingga bisa membangunkan orang yang tengah terlelap tidur. Meski demikian, kehidupan pasar malam di Kundi yang berlangsung sampai hampir tengah malam, agaknya banyak membuat warga Kundi kelelahan sehingga hanya sedikit yang bisa datang ke balai desa.

Di desa inilah, keempat anak itu kemudian diminta berendam di sebuah kolam yang terlebih dulu didoa-doai oleh dua orang Jenang. Anak-anak itu ditemani para orang tua, sebagian warga, dengan iringan musik kenong dan gendang. Dari pukul 04.00 sampai 06.20 keempat anak itu berjongkok merendam setengah badan bagian bawahnya dalam air, membius kemaluan mereka agar tidak terasa sakit ketika dikhitan nanti.[52]

Setelah berendam di aek kapong selama kurang lebih 3 jam, kira-kira pukul 06.00-07.00 pelaksanaan sunatan dilakukan oleh mudim (tukang sunat kampung) secara bergantian kepada peserta. Alat-alat yang digunakan untuk memotong ujung penis laki-laki tersebut masih menggunakan alat tradisional, seperti; daun sirih yang digunakan untuk menghentikan pendarahan, gunting, kapas, bambu yang telah ditajamkan (dahulunya dipakai sebagai alat untuk memotong ujung penis, sekarang sudah menggunakan pisau) dan tali dari kain yang digunakan untuk mengikat sekaligus penahan bagi penis agar tidak bergerak.

Diarak Keliling Kampung

Setelah upacara sunat kapong selesai, kemudian anak-anak tersebut diarak-arak keliling kampung didampingi teman-temannya yang sebaya. Arak-arak dilakukan dengan menggunakan tandu dan sepeda yang telah dihiasi dengan berbagai macam hiasan dan diiringi dengan selawatan barzanji, mulai dari ujung kampung (tempat sunat dilaksanakan, di dekat aek kapong) menuju lorong (gang) hingga kejalan umum, kemudian diselingi dengan penampilan pencak silat dan akhirnya kembali ketempat masing-masing.

Dalam adat Betawi, peserta (pengantin sunat) diarak duduk di atas kuda yang dirias dengan sedemikian rupa, anatar lain dengan bunga-bunga dan bermacam buah-buahan. Di dekat ekor kuda digantungkan seikat padi dan sebuah kelapa. Biasanya, si pengantin sunat akan didampingi teman-temannya mengiringinya dengan naik delman. Berjalan di barisan paling depan adalah grup ondel-ondel yang menari berkeliling kampung. Rebana ketimpring terus mengiringi sepanjang perjalanan.[53] Tidak demikian halnya di desa Peradong, peserta sunat diarak sebagaimana arak-arakan tamat ngaji, yaitu dengan duduk di atas sepeda yang telah dihiasi dengan berbagai bentuk dan variasi yang didorong oleh orang tuanya dan orang dewasa lainnya dengan diikuti anak-anak dan remaja lainnya yang sebaya. Rombongan depan adalah sebagai pembaca selawatan barzanji yang dikomandoi oleh tetua adat. Setelah selesai, bagi keluarga (orang tua anak) yang mampu, biasanya mengadakan hajatan (selamatan) di rumah masing-masing.


4. Selawatan Barzanji

Selawatan Barzanji merupakan bacaan shalawat yang diambil dari kitab al-Barzanji yang dibacakan ketika mengiringi setiap arak-arakan yang dilakukan, baik untuk arak-arakan tamat ngaji sunat adat. maupun untukPembacaan tersebut dilakukan oleh rombongan arak-arakan di baris depan, yang dikomandoi oleh tetua adat. Untuk irama pembacaan tersebut, hanya beberapa orang saja yang masih bisa untuk melafalkannya.

Selawat dilakukan tanpa ada paksaan, bagi remaja yang telah bisa membaca selawatan tersebut juga diperbolehkan untuk membaca selawat barzanji. Selain untuk mengiringi arak-arakan, juga untuk memeriahkan dan meramaikan sekaligus untuk menghibur peserta yang diarak. Khusus untuk arak-arakan tamat nagaji, bertujuan untuk memotivasi bagi anak-anak dan remaja lainnya agar menamatkan 30 juz al-Qur’an, sehingga bisa menjadi peserta tamat ngaji di tahun depan. Begitu juga dengan arak-arakn sunat adat, juga untuk memberikan semangat dan keberanian kepada mereka yang belum disunat.

5. Penampilan Pencak Silat


Upacara ini dilakukan untuk menghibur para penonton yang menyaksikan jalannya kegiatan upacara sedekah kampung dan juga untuk menghibur anak yang baru saja disunat. Karena selain masyarakat Peradong, banyak para pengunjung yang datang untuk menyaksikan jalannya acara tersebut. Pencak silat tersebut diperankan oleh masyarakat dengan pakaian bebas, bahkan hansip – pun boleh memperagakannya sebagai aktor.

Pencak silat ini tidak seperti halnya silat pada umumnya, karena dalam pencak silat ini hanya menirukan sebagian gerakan-gerakan saja. Dalam penampilannya, terlihat sedikit lucu karena gerakan-gerakannya bukan gerakan-gerakan dalam jurus silat. Gerakan tersebut dilakukan sesuai dengan gaya masing-masing pemeran dengan sedikit meniru gerakan dalam jurus silat kampung. Yang menarik perhatian dari penampilan pencak silat tersebut, adalah ketika pemeran (sebagai aktor) berupaya memperebutkan uang yang diletakkan masyarakat dan pengunjung yang dikeluarkan dengan suka rela.

Dengan gayanya yang sedikit konyol, mereka–pemeran berupaya mempertahankan uang yang telah mereka dapatkan agar tidak diambil oleh pemeran lainnya. Penampilan ini biasanya dilakukan oleh dua orang.



BAB 5 Penutup


Diharapkan studi tentang ritual tradisi Sedekah Kampung ini dapat disempurnakan dengan mengadakan penelitian lebih lanjut dari sisi lain. Sehingga dapat memberikan gambaran lengkap pada tradisi Sedekah Kampung tersebut dalam skala yang lebih luas.


Sebagai generasi muda dan penerus cita-cita bangsa yang berkpribadian muslim, dengan sendirinya mempunyai kewajiban dan tanggungjawab akan kelangsungan agama, umat maupun masa depan bangsa. Untuk tegaknya ajaran Islam, terutama yang menyangkut akidah Islamiyah dan memberikan pembinaan bagi para pengunjung dan masyarakat sekitarnya agar tidak terjerumus pada perbuatan yang berbau syirik.



[1] Bustanudin Agus, Islam dan Pembangunan, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2002), hal. 15.

[2] Atang Abdullah Hakim Dan Jaih Mubarok, Metodologi Studi Islam, (Bandung, PT Remaja Rosdakarya, 2006), cet. kedelapan, hal. 28.

[3] Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi, (Jakarta: PT Rineka Cipta, 1990), cet. kedelapan, hal. 190.

[4] Samir Aliyah, Sistem Pemerintahan, Peradilan & Adat dalam Islam, penerjemah: H. Asmuni, (Jakarta: Khalifa, 2004), cet. petama, hal. 512.

[5] Tim Penyusun, Provinsi Bangka Belitung; Jembatan Menuju Kesejahteraan Rakyat, (Presidium Pembentukan Provinsi Bangka Belitung, 2000), hal. 47.

[6] Nganggung adalah membawa makanan di dalam dulang atau talam yang ditutup dengan tudung saji ke masjid, surau, atau balai desa untuk dimakan bersama setelah pelaksanaan ritual agama. Lihat Zulkifli, Kontinuitas Islam Tradisonal di Bangka, (Sungailiat: Shiddiq Press, 2007), hal. 53.

[7] Irwan Abdullah, Simbol, Makna dan Pandangan Hidup Jawa: Analisis Gunungan pada Upacara Garabeg, (Yogyakarta: Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional, 2002), cet. pertama, hal. 4.

[8] Arwani, Memaknai Tradisi Berkat Mauludan di Krajen Purworejo, dalam Irwan Abdullah, Ibnu Mujib dan M. Iqbal Ahnaf, (ed.), Agama dan Kearifan Lokal dalam Tantangan Global, (Yogyakarta: Sekolah Pasca Sarjana UGM, 2008), cet. I, hal. 187.

[9] Yaitu antara pertengahan hingga penghujung bulan Rabiul Awwal (antara tanggal 15 sampai 30).

[10] http://www.antaranews.com, 02/09/07 22:05, Pesta adat perang ketupat di Desa Tempilang Kabupaten Bangka Barat Diminati Warga, Copyright © 2008 ANTARA, diakses tanggal 21 Desember 2008, 16:34 WIB.

[11] Istana adalah sebutan masyarakat terhadap makam keturunan tetua adat yang dijadikan sebagai tempat ritual upacara permohonan izin untuk melaksanakan Sedekah Kampung.

[12] Naber kampung adalah pemercikkan air taber (batu pensucian) yang terbuat dari bahan-bahan tradisional serta dedaunan ke rumah-rumah masyarakat dan gaharu (dupa) dari kayu bolo (bambu) yang menurut tetua adat dahulunya dimaksudkan sebagai alat untuk menarik orang-orang Cina yang berdiam di desa tersebut agar memeluk agama Islam. Sedangkan Nangkel adalah pemberian tangkal (jimat) dimulai dari gerbang masuk kampung hingga perbatasan kampung. Pemberian jimat ini dimaksudkan untuk menangkal segala bentuk gangguan dari luar yang tidak menginginkan acara ini berlangsung. Lihat Booklet Pariwisata Negeri Sejiran Setason, Dinas Perhubungan, Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Bangka Barat, hal. 6.

[13] Betamat adalah membaca surat-surat pendek dari al-Qur’an secara bergantian. Lihat Zulkifli, Kontinuitas Islam Tradisonal di Bangka, (Sungailiat: Shiddiq Press, 2007), hal. 54. Biasanya pembacaan surat-urat pendek tersebut dimulai dari surat ad-Dhua sampai an-Naas.

[14] Sunatan adalah upacara memotong ujung penis anak lelaki dalam ukuran tertentu. Lihat Yahya Andi Saputra, Upacara Daur Hidup Adat Betawi, (Jakarta: Wedatama Wydia Sastra, 2008), cet. Pertama, hal. 17.

[15] Charles Le Gai Eaton, Remembering God : Reflections on Islam, penerjemah: Zaimul Am, ( Bandung : Pustaka Hidayah, 2003), cet. ketiga, hal. 181.

[16] Clifford Geetz, Tafsir Kebudayaan, ( Yogyakarta : Kanisius, 2004) penerjemah: Francisco Budi Hardiman, cet. 7, hal. 17.

[17] Zulkifli, Antropologi Sosial Budaya, (Bangka: Shiddiq Press, bekerjasama dengan Penerbit Grha Guru Yogyakarta, 2008), cet. 1, hal. 87.

[18] Charles Le Gai Eaton, op. cit. hal. 162.

[19] Samir Aliyah, op. cit., hal. 512.

[20] Irwan Abdullah, Simbol, Makna dan Pandangan Hidup Jawa: Analisis Gunungan pada Upacara Garabeg, (Yogyakarta: Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional, 2002), cet. pertama, hal. 4.

[21] Arwani, Memaknai Tradisi Berkat Mauludan di Krajen Purworejo, dalam Irwan Abdullah, Ibnu Mujib dan M. Iqbal Ahnaf, (ed.), Agama dan Kearifan Lokal dalam Tantangan Global, (Yogyakarta: Sekolah Pasca Sarjana UGM, 2008), cet. I, hal. 187.

[22] Irwan Abdullah, op. cit., hal. 3-4.

[23] Y. Sumandiyo Hadi, Seni dalam Ritual Agama, (Yogyakarta: Buku Pustaka, 2006), cet. II, hal. 60.

[24] Arwani, op. cit., hal. 188.

[25] Zulkifli, ibid., hal. 69.

[26] Widodo, Cerdik Menyusun Proposal Penlitian Skripsi, Tesis dan Disertasi, ( Jakarta : Yayasan Kelopak, 2004), cet. kedua, hal. 50.

[27] Y. Sumandiyo Hadi, op. cit., hal. 78.

[28] Ermiwati, “Dampak Adat Istiadat Terhadap Kehidupan Keagamaan Masyarakat Islam Suku Mapur Dusun Pejem Desa Gunung Pelawan Kecamatan Belinyu Kabupaten Bangka”, Skripsi, Fakultas Dakwah STAIN Syaikh Abdurrahman Siddik Bangka Belitung, Sungailiat, 2007, hal. 9.

[29] Bahmi Baid, Metodologi Penelitian Pendidikan, (Bangka : STAI YPTIB, 2004), hal. 46.

[30] Muara adalah tempat berakhirnya aliran sungai di laut, danau, atau sungai lain; sungai yang dekat dengan laut. Lihat Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1990), cet. ketiga, hal. 593.

[31] Kutipan di atas adalah terjemahan bebas dari penulis. Wawancara dengan Kek Jemat, Desa Peradong di Ume (ladang)–nya, hari Sabtu tanggal 10 Januari 2009.

[32] Bubur yang warnanya harus putih dan merah, biasanya terbuat dari beras dicampur dengan santan Kelapa.

[33] Pulot/pulut (Jawa) adalah makanan yang terbuat dari beras ketan/pulut yang dimasak menggunakan santan Kelapa sebagai airnya. Untuk memasaknya seperti halnya memasak nasi biasa.

[34] Telok ayem butet adalah telur ayam yang tunggal.

[35] Wawancara dengan Kek Jemat, Desa Peradong di Ume (ladang)–nya, hari Sabtu tanggal 10 Januari 2009.

[36] Wawancara dengan Atok Pardi, di Desa Peradong, hari Sabtu tanggal 11 Juli 2009.

[37] Wawancara dengan Nek Limah, di Desa Peradong, hari Sabtu tanggal 11 Juli 2009.

[38] Gegading adalah jabatan tertinggi dalam pemerintahan desa yang dikenal sekarang dengan kepala desa. Nama-nama yang pernah menjabat sebagai gegading di Desa Peradong pada masa penjajahan Belanda hingga Jepang, seperti yang diceritakan oleh Atok Pardi (Wawancara, tanggal 11 Juli 2009) sebagai berikut; 1) Kek Manar, 2) Kek Bakri, 3) Bang Cit dari Muntok, 4) Bang Oemar dari Muntok, 5) Kek Jakfar dan 6) Kek Muen. Untuk masa jabatannya tidak diketahui.

[39] Pemerintah Kabupaten Bangka, Selayang Pandang Kabupaten Bangka, (Bangka : 2003), hal. 22.

[40] Sure adalah upacara nge-bubur campur-campur yang dilakukan di halaman masjid secara bersama-sama (gotong-royong). Untuk bahan-bahannya diperoleh dari masyarakat setempat yang dikeluarkan dengan suka rela. Biasanya setelah bubur masak, dilakukan ritual agama (selamatan-Nganggung) dan selanjutnya bubur tersebut dibagikan kepada masyarakat untuk dibawa pulang dalam tempat yang telah mereka sediakan.

[41] Sedekah Ruwah adalah upacara membersihkan kuburan desa. Masing-masing keluarga membersihkan kuburan sanak familinya. Keunikan dari upacara tersebut karena membersihkan kuburan dilakukan secara serentak (dalam satu hari), walaupun di hari yang lain masih ada yang membersihkannya. Biasanya bagi yang membersihkan kuburan di hari yang lain dikarenakan berhalangan atau karena faktor jarak yang jauh.

[42] Dinas Perhubungan , Kebudayaan dan Pariwisata Kab. Bangka Barat, Booklet Pariwisata Negeri Sejiran Setason, hal. 6.

[43] Istana adalah sebutan masyarakat terhadap makam keturunan tetua adat yang dijadikan sebagai tempat ritual upacara permohonan izin untuk melaksanakan Sedekah Kampung (makam leluhur yang merupakan kakek buyut tetua adat dan sekarang sudah keturunan kelima).

[44] Zulkifli, Ibid., hal. 54.

[45] Mancung64’s Weblog, Theme: Andreas04 oleh Andreas Viklund. Blog pada WordPress.com. Membawa Cerita, “Cinta,” Budaya dan Mestika dari Bumi Persada.

[46] Mancung64’s Weblog, Theme: Andreas04 oleh Andreas Viklund. Blog pada WordPress.com. Membawa Cerita, “Cinta,” Budaya dan Mestika dari Bumi Persada.

[47] Zulkifli, Ibid., hal. 53.

[48] Yahya Andi Saputra, Upacara Daur Hidup Adat Betawi, (Jakarta Selatan: Wedatama Widiya Sastra, 2008), cet. Pertama, hal. 17.

[49] Bagian yang dikhitan pada anak laki-laki adalah tepi bulat yang menutupi hasyafah (ujung kemaluan), sedangkan pada anak perempuan adalah kulit yang berbentuk jengger ayam jantan di bagian atas farji. Saad Muhammad Asy-Syeh Al-Marshafi, Ahadits al-Khitan Hujjatuha wa Fiqhuha, penerjemah: Amir Zain Zakaria, (Jakarta: Gema Insani Press, 1996), cet. Kedua, hal. 13.

[50] Yahya Andi Saputra, loc. cit.

[51] Runi Pardi (Kepala Desa), Wawancara, di Desa Peradong.

[52] http://www.kompas.com/kompas-cetak/0109/04/daerah/sema20.htm, Semangat Kundi Mempertahankan Adat, Kompas/rakaryan sukarjaputra, From: apakabar@saltmine.radix.net, Date: Tue Sep 04 2001 - 10:54:29 EDT, Selasa, 4 September 2001, di akses tanggal 07 November 2008.

[53] Yahya Andi Saputra, ibid,. Hal. 21.



*Penulis adalah mahasiswa STAIN Syaikh Abdurrahman Siddik Bangka Belitung dan Anggota HMI Babel

وَاسْتَعِينُواْ بِالصَّبْرِ وَالصَّلَوةِ وَإِنَّهَا لَكَبِيرَةٌ إِلاَّ عَلَى الْخَـ شِعِينَ

Jadikanlah sabar dan shalat sebagai penolongmu.

Dan sesungguhnya yang demikian itu sungguh berat,

kecuali bagi orang-orang yang khusyu',

(Al-Baqarah: 45)